Foto: Sayangi.com/Emil
Terpilihnya Puan Maharani sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tidak terlalu mengejutkan, pasalnya Puan sebagai anak emas ketua umum PDIP, Megawati, sudah semestinya ada dibarisan gerbong pemerintahan Jokowi. Selain itu alasan lainnya, tentu saja usaha Puan mengangkat Jokowi sebagai capres tidak bisa dinihilkan, artinya Puan turut juga berkontribusi memenangkan Jokowi. Setidaknya Puan ikut meredam kekecewaan dari segelitir elit PDIP, seperti  Maruarar Sirait, Effendi Simbolon, Rieke Dyah Pitaloka, dan sejumlah elit lainnya yang pada awalnya menunjukan ketidaksetujuannya pencalonan Jokowi dari PDIP, karena mereka masih berharap Mega masih layak dicalonkan kembali jadi capres.
Usaha Puan berhasil, dan akhirnya para elit PDIP yang semula protes, menyetujui dengan mengikhlaskan Jokowi sebagai capres. Puan adalah orang kedua setelah Megawati, dimana omongan dan titahnya masih dipatuhi oleh sebagian besar elit  PDIP, maka Jokowi seperti dapat angin begitu Puan menyusul Mega merestuinya jadi capres. Apalagi, peran Puan di PDIP memiliki wewenang besar dibandingkan dengan elit PDIP lainnya. Di PDIP, Mega itu ratunya, sedangkan jalannya pemerintah, mulai dari koordinasi dan konsolidasi di lapangan, Puan yang megang.
Atas dasar politik balas budi itulah Puan dipilih untuk menjadi salah satu menterinya. Tak tanggung-tanggung Jokowi menghadiahi Puan sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Suatu jabatan prestise dikalangan menteri. Di era orde baru, orang yang dipilih menduduki jabatan Menko adalah orang-orang terpilih, alias bukan orang sembarangan. Dilihat dari sisi akademis dan kemampuan manajerial harus menjadi prasyarat untuk dipilih jadi Menko. Di tangan Jokowi, prasyarat semacam sudah tidak berlaku lagi,yang penting mangap dulu, urusan apakah itu ada masalah atau tidak belakangan. Atas kebijakan Jokowi itu, Puan berterima kasih dengan tetap tidak keluar dari pekem yang ada, kurangi senyum dan irit bicara. Karena mau banyak bicara pun, Puan yakin tidak akan mempengaruhi keputusan Jokowi untuk tetap memilih dia. Jadilah Puan yang hanya tamat S1 memimpin bawahan menteri-menteri sekelas Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, dan sederet menteri-menteri lainnya yang rata-rata tamat S2, yang sudah berpengalaman dibidang akademik dan organisasi kemanusiaan lainnya.
Kalau sekedar membandingkan dengan Susi, Puan tidak ada apa-apanya. Susi memang tamatan SMP, tetapi karena pengalaman kerja di bidang perikanan yang dikuasai menjadikan dia sosok yang pantas menduduki jabatan tersebut, sementara Puan bertahun-tahun jadi anggota DPR, kinerjanya ke lingkup masyarakat tidak pernah nampak. Masih kalah garang dibandingkan Rieke Dyah Pitaloka atau Eva Sundari. Dan publik dan pendukung PDIP paham dengan keberadaan Puan di PDIP hanya akan dijadikan patron politik sepeninggal Megawati, mengganti Mega sebagai ketua umum PDIP. Puan sudah menjadi sebuah gimmik dari PDIP itu sendiri. Tanpa ada trah Sukarno, nasib PDIP tentu saja akan kehilangan pamor.
Di PDIP, Puan dikatakan Gimmik, sementara di pemerintahan Jokowi, Puan hanya sekedar bumbu pelengkap dari menu pemerintahan Jokowi. Jadi Jokowi pun paham dengan kapasitas dan realitas kemampuan Puan. Dan tidak harus mendorong Puan untuk bekerja keras, seperti apa yang dilakukan Susi dan Jonan. Maka dari itu penempatan dia di Menko sebuah strategi jitu dari Jokowi untuk menggembuk para penentangnya, baik yang datang dari bekas pendukung Jokowi, ataupun dari para penentang Jokowi itu sendiri.
Berkaitan dengan isu ressuffle tentang siapa-siapa menteri yang pantas diganti (Siapa Menteri yang Layak Diganti, Hendri Satrio, RMOL, 30 Desember 2014) Nama Puan Maharani sebagai  Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ada dibarisan paling pertama dari lima besar menteri yang harus diganti. Alasan utamanya, karena Puan disoroti  kurang cepat bergerak saat bencana dan salah menyebutkan wilayah Provinsi Banjarnegara.
Terlepas dari peristiwa longsor di Banjarnegara. Kinerja Puan memang tidak menunjukan kapabilitasnya. Masalah BBM dan Kartu Sakti Jokowi peran Puan tidak muncul. Sekali bersuara, Puan langsung terlibat konflik dengan Yusril Ihza Mahendra. Dan paling anyar dengan kaitan peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia sama sekali peranan Puan tidak kelihatan. Padahal kasus tersebut ada kaitan dengan kementerian yang dibidanginya, yakni masalah kejiwaan keluarga korban harus menjadi wewenang kementerian sosial dan kesehatan yang menjadi bawahannya. Tetapi justru yang paling aktif bekerja, malah datang dari yayasan bunda Tzu Chi.
Atas dasar inkapabilitas Puan sebagai Menteri, semestinya Presiden harus segera mengganti, tetapi karena Jokowi sebagai Presiden yang berasal dari PDIP. Tentu akan berpikir 1000% untuk Jokowi memecat Puan. Tetapi akan mendapat dua jempol jika Jokowi berani memecat Puan Maharani. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H