Mohon tunggu...
Dean Ridone
Dean Ridone Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Hanya orang Biasa

lesung pipit

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warung Vulgar antara Etika dan Bisnis

31 Maret 2015   10:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daftar menu di Kedai 24 (Foto: Bagus Kurniawan/detikcom)

Antara  etika dan bisnis memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Ketika seseorang akan menjalankan bisnis, hal utama yang harus diperhatikan etika. Etika yang baik dari si pedagang maupun penjual akan mengundang konsumen atau pembeli untuk membeli produk yang ditawarkan oleh si pedagang. Bisnis tak beretika sama halnya menyajikan sayur sop tanpa garam. Meski dari sajian dan penampilan sop tersebut menarik, akan tetapi tidak ada gunanya bila tidak menimbulkan rasa.

Pada prakteknya, hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku. Salah satu contohnya, yang terjadi pada Sebuah warung makan di Yogyakarta. Baru-baru ini, warung tersebut telah menuai kontroversi lantaran memiliki menu dengan nama-nama vulgar, Seperti menu bertulisan Pelacur yang berarti Pemusnah Lapar Rasional dan Masturbasi (Mie Nasi Telur Bercampur dalam Satu Porsi). Ada nama artis Jepang, Miyabi (Mie Yang Tak Biasa). Ada juga nasi goreng Gigolo (Gerombolan nasi Goreng sesuka Lo), sosis, kemudian minuman Milk Sex, Smoothy Orgasm, Warna-warni minuman Horny atau panas. Selebihnya tidak ada yang istimewa dari warung tersebut, selain dari menu-menunya. Harga-harga di warung tersebut tak berbeda jauh dari warung yang lain pada umumnya.

Warung Kedai 24 berada kawasan jalan Selokan Mataram dekat kawasan kampus di  daerah Babarsari, Depok, Sleman. Satu lagi berada di Jalan Damai, Ngaglik, Sleman, memang menyajikan hal yang berbeda dalam memberi nama menu. Alasan dari si pemilik warung, hanya ingin mengajak konsumen untuk melihat banyak hal dari banyak sisi. Satu sisi yang ingin diungkap dari si pedagang adalah keberagaman merupakan anugerah.  Anugerah tersebut ingin diwujudkan dalam menu sajian di warung kedainya. Dengan menyajikan nama-nama vulgar tentu saja menimbulkan penasaran bagi konsumen, maupun pembeli, meski dari sisi lain, tampaknya etika sepertinya diabaikan.

Pengamat Sosial, MS Drajat, menilai fenomena tersebut berlawanan dengan norma sosial yang berlaku di Indonesia.

"Bukan berati tidak boleh, tapi itu berlawanan secara sosial dengan norma yang ada karena itu menggunakan istilah vulgar," ujar Drajat saat berbincang dengan detikcom, Senin (30/3/2015). Menurut Drajat bahwa si pemilik warung hanya ingin mencari sensasi, dibalik alasan anugerah. Menurutnya nama-nama vulgar pada menu makanan sangat tidak etis. Maka sangat wajar bila ada penolakan dari sebagian masyarakat, termasuk dari KPAI yang sangat perhatian terhadap perlindungan anak-anak. Pemilik warung tidak memperhatikan bahwa pengunjung kedai tersebut tidak semua orang dewasa. Ada juga anak-anak kecil yang ikut makan dengan orang tuanya. Tentu saja akan menimbulkan kekhawatiran dari pihak orang tua. Mestinya kalau mau jujur. Si pedagang mesti pasang baligo berisi pesan"Orang yang makan di warung ini, khusus yang berusia 18 tahun keatas"

Etika dan bisnis adalah satu-kesatuan yang utuh dan tidak dipisahkan satu sama lain. Urusan bisnis tanpa ada etika hanya akan menimbulkan kerugian. Kerugian bukan dari segi pendapatan, akan tetapi akan menimbulkan kontroversi dan konflik yang terjadi di masyarakat. Dari sisi marketing boleh-boleh saja, akan tetapi harus siap menerima resiko penolakan dari masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, wassalam.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun