Mohon tunggu...
Dean Ridone
Dean Ridone Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Hanya orang Biasa

lesung pipit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wimarisme

23 Juni 2014   08:04 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:46 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wimar Witoelar, si rambut kriwil, berulah lewat twitternya, mem-posting foto Prabowo-Hatta dan para pemimpin dari partai koalisi itu disandingkan dengan para pelaku teroris. Foto tersebut dimuat dengan maksud membunuh karakter seseorang (the assasignation of character). Wimar, fans Jokowi, seolah-olah menilai bahwa Prabowo bukanlah orang yang tepat memimpin negeri ini. Kepemimpinan Prabowo dianggap mewarisi orde baru yang akan mengancam hak-hak asasi manusia. Jokowi adalah alternatif terbaik pemimpin Indonesia. Jokowi pemimpin yang lahir di masyarakat. Dia datang dari rakyat. Kedatanganya sebagai “Satrio Piningit” yang ditunggu oleh masyarakat Indonesia.

Berangkat dari pemikiran yang liar dan dibarengi oleh sikap Fanatisme buta. Akhirnya Wimar melacurkan diri ke jurang yang paling dalam. Jurang yang dalam itulah telah membenamkan oase keilmuanya dengan melakukan tindakan yang konyol sebagai seorang cendikiawan. Seorang cendikiawan dituntut untuk lebih mengedepankan etika berpolitik yang sehat, bukan dengan menciptakan agitasi-agitasi kebencian masyarakat. Wimar telah merusak Revolusi mental yang didewakan oleh Jokowi. Sah-sah saja Wimar mendukung jokowi tapi tidak ada alasan untuk membenci prabowo, apalagi membawa orang-orang yang sudah meninggal, seperti Suharto atau Imam Samudera sebagai pihak yang dipersalahkan.

Wimar dalam pandangan orang awam telah mengalami mutasi. Rambutnya yang kriwil mulai mengalami macet (hang) sehingga sudah tidak dapat menangkap sinyal-sinyal positif efek social dari daya visual seseorang. Kaca matanya yang menjadi ciri khasnya sudah demikian tebal sehingga tidak mampu mengalirkan komunikasi mata yang nyata ke dalam kaca mata hatinya. Maka tak usah heran, akibat proses mutasi tersebut, foto Prabowo-Hatta dipandang sebagai dua orang jahat (bad guys) yang sedang berdiri di depannya. Dan rupanya Wimar belum puas bila tidak menyandingkan dengan bad guys lainya. Dari proses penelahaan yang dalam, ditemukanlah orang-orang yang pantas dimasukan pada kelompok-kelompok bad guys. Lucunya orang-orang yang sudah meninggal dimasukan pada kelompok tersebut, ditambah pula dengan logo-logonya organisasi. Orang-orang tersebut dikumpulkan dalam mata imajinasinya lalu dituangkan dalam layar. Jadilah gambar yang dia idamkan. Gambar atau foto itu diberi judul "Gallery of Rogues" artinya gerombolan bandit.

Foto tersebut menimbulkan protes dari pelbagai pihak, tidak hanya para fans Prabowo yang protes, tetapi juga dari induk organisasi Islam, Muhamadiyah yang merasa Wimar telah memfitnah organisasi. Efek mutasi Wimar mulai bereaksi saat dihadapkan dengan Muhamadiyah. Hal ini terlihat dari absensi ketidaktahuannya terhadap sikap politik Muhamadiyah yang netral.

Efek mutasi Wimar melahirkan isme baru, yakni Wimarisme, artinya kebencian seseorang lewat media sosial terhadap orang lain melewati batas-batas norma sosial, sehingga etika berpolitik diabaikan, cenderung fanatisme berlebihan. Wimarisme merupakan anti thesis dari sebuah pelajaran bagi kita bahwa hidup beretika adalah cermin dari suatu bangsa dan budaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun