Mohon tunggu...
Dean Ridone
Dean Ridone Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Hanya orang Biasa

lesung pipit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terroris dan Kerinduannya

21 Agustus 2014   21:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:56 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeruji besi tua nan dimakan karat telah menjadi pegangannya bertahun-tahun hingga tanggannya tak terasa halus lagi seperti wajahnya dulu. Wajah seorang pejuang yang berani menantang arus. Bangku reyot beralaskan kasur lapuk, tempat dimana dia tidur dan merenung tentang kehidupan cintanya yang terhempas. Anak dan istrinya menjauh pergi bersama laki-laki yang menjadi sahabatnya dulu sebelum dia terjun menjadi seorang pejuang. Lampu 5 watt pada ruangan pengap dan bau hanya sebagai penerangan diri untuk lebih sekedar mengenal kekar tubuhnya, dan lampu itu telah membantu mengasah ingatan lamanya dari masa kecil,  menikah dan memiliki anak, hingga berubah menjadi mimpi buruknya karena dia harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.

Dihisapnya dalam-dalam rokok yang kutawarkan, Sesekali badan dan kepalanya digaruk-garuk sebagai reaksi alami yang hanya dia dapat lakukan. Sejak diputuskan menerima hukuman mati dan divonis sebagai orang berbahaya, semenjak itu pula dikurung pada ruang sempit  bawah penjara, tanpa cahaya matahari. Seminggu sekali dikeluarkan untuk bermandikan air dan matahari. Dari balik jeruji, aku berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya aku bertanya.

“Apa yang paling bapak harapkan di sisa hidup ini?”

“Kematian", jawabnya parau. Matanya terlihat kosong tapi tajam menatapku seolah-olah ingin menerkamku.

Tanpa jeda, Bapak tua berusia setengah abad, melanjutkan alasan tanpa sempat aku bertanya.

“Hanya kematian yang akan membawaku hidup tenang. Jika aku mati nantinya, aku ingin mohon dikabulkan permintaanku.” ucapnya tersendat seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.

“Permintaan apa, Bukankah, kematian itu menyakitkan, dan manusia tidak dapat berharap apa-apa ?.”

“Hmm, tidak... tidak.., kamu wartawan gossip, tidak tahu, dan tidak usah merekayasa berita. Bagiku kematian itu lebih menyenangkan, daripada hidup dijauhkan dari anak istri dan masa depanku sudah tertutup langit bumi",

"Permintaan apa yang bapak inginkan?" sekali lagi aku bertanya.

“Para mayat.” seketika terlontar dari mulutnya yang disisipi sebatang rokok menyala. Tampak seluruh ruangan makin berasap. Sudah dua bungkus rokok yang dihisapnya.

Dia lalu bercerita dari awal terjerumusnya dia menjadi teroris, bergerilya di setiap sudut kota, tak henti-hentinya dia membom tempat-tempat yang dianggap dia dan kelompoknya sebagai tempat yang pantas dibom, dengan alasan atas nama budaya dan agama. Dia berperan sebagai perencana, perakit, dan penyerang. Satu-satunya yang tidak pernah dia inginkan, yakni menjadi 'pengantin'. Saat itu dia tidak mau meninggal karena tak mau kehilangan istrinya yang sedang hamil tua. Akibatnya, dia disuruh meledakan sekolah tempat anak-anak expatriat bersekolah sebagai gantinya. Dengan rasa takut, dia pun melakukannya, Tak berapa dia ditangkap dan divonis mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun