[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Foto: KOMPAS.com/ GLORI K WADRIANTO Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama"][/caption]
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memanfaatkan kesempatannya di balik galaunya seorang Ahok yang protes gara-gara ketidaksetujuannya Pilkada dipilih DPRD. Ahok dianggap pantas diterima oleh PDIP mengingat hubungannya dengan para petinggi PDIP, termasuk ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri berjalan lancar, terutama pada saat-saat kampanye pilpres lalu. Ahok yang merupakan kader Gerindra tak bergeming sedikit pun turut mendukung pencalonan Jokowi sebagai capres, yang jelas-jelas harus bertabrakan dengan Prabowo, yang tak lain adalah bossnya di Gerindra, sekaligus orang yang berjasa mengantarkan dia sebagai wagub, dan sekarang menjadi gubernur DKI Jakarta.
Jika benar Ahok benar-benar ingin keluar dari Gerindra, PDIP-lah, partai pertama yang akan menariknya, sekaligus akan memberi manfaat untuk PDIP. Ahok dianggap akan memperkuat koordinasi partai dengan masyarakat bawah yang selama ini mengharapkan sosok pemimpin yang membawa kebaharuan, layaknya seperti Jokowi. Dan Ahok, menurut PDIP tentunya juga sangat pantas menyandangnya dengan memberi sinyal kuat mendukung PDIP dan partai pengusung Jokowi for President menginginkan pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Adalah bentuk perlawanan pertama dalam sejarah karier politik terhadap Gerindra, partainya.
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo tidak merasakan keheranananya karena Ahok selama ini dianggap sebagai bagian keluarga besar PDI-P. Kedekatan Ahok dengan PDI-P dimulai sejak mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilkada DKI Jakarta 2012 silam.
"Selama ini, Ahok dengan Megawati dan Jokowi sering ketemu, saling curhat. Kalau satu saat nanti Ahok keluar dari partainya, atau mungkin ingin bergabung dengan PDI-P, kami selalu terbuka," kata Tjahjo di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (kompas. 10/9/2014).
[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Foto: Warta Kota/Henry Lopulalan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini "]
Lain Ahok, lain pula Risma. Rencana pencalonan Risma sebagai walikota Surabaya tidak didukung oleh PDIP, partai yang menjadi kendaraan politiknya pada saat pencalonannya sebagai walikota. Dan sebaliknya Gerindra dan partai-partai yang tergabung pada koalisi merah-putih berebut ingin menarik Risma sebagai kadernya. Risma dianggap sebagai pemimpin yang berhasil selama ini, dan terbukti peran serta Risma mendapat dukungan dari rakyat Surabaya, meskipun tidak didukung oleh PDIP. Bagi Gerindra dan partai koalisi merah putih sangat disayangkan orang-orang secerdas Risma disia-siakan.
Risma sendiri tidak terlalu bermasalah tentang tidak ada dukungan dari PDIP. Bagi dia jabatan bukan segala-galanya, karena selama ini yang menjadikan dia walikota bukan keinginan pribadinya dan bukan impiannya. Intinya dia ingin lebih fokus membenahi Surabaya sebaik-baiknya di sisa-sisa kepemimpinannya.
"Saya tidak punya kepentingan, yang jelas saya tidak pernah dan tidak akan minta jabatan itu. Biar pun di dewan, atau di mana saja karena jabatan tidak boleh diminta," katanya kepada wartawan di Ruang Kerja Walikota Surabaya, Senin (Bisnis.com 8/9/2014).
Ahok dan Risma adalah bagaimanapun adalah pion-pion sebuah pertarungan sebuah partai. Keberadaan mereka telah menjadi gimmiks untuk partai-partai dalam menarik massa. Namun, sebagai manusia berhak dalam menentukan sikap dan keinginannya sekaligus harus mendapat perlawanan dari partai.
Akar dari permasalahan dari keduanya sangat berbeda, tapi pada inti prinsipnya sama, yakni sama-sama ingin membebaskan dari belenggu partai yang dirasa sudah tidak sesuai dengan jalan politiknya. Jika Ahok ingin keluar dari Gerindra, karena rasa kecewa dia terhadap kebijakan Gerindra yang memilih opsi pilkada lewat DPRD. Sementara Risma tidak ada pernah menyatakan keinginan keluar dari PDIP. Justru sebaliknya PDIP sepertinya sudah tidak genah lagi dengan Risma mengingat selama ini Risma dianggap terlalu cuek bebek dengan urusan-urusan dengan kepartaiannya. Berbeda dengan Jokowi meski dekat dengan rakyat, tetapi Jokowi sangat loyal terhadap Megawati, dan hal tersebut tidak dimiliki oleh Risma.