Mohon tunggu...
Dean Ridone
Dean Ridone Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Hanya orang Biasa

lesung pipit

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Tak Berdaya di Tangan Kartu-kartu Sakti Jokowi

12 November 2014   15:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:00 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibalik garangnya KPK, ternyata masih tersimpan ketakutan dari KPK. Buktinya dalam hal kartu saktinya Jokowi. KPK tidak mampu berbuat apa-apa, padahal apa yang dikatakan ICW bahwa ada potensi korupsi yang membelit dengan diluncurkannya kartu-kartu sakti Jokowi. Secara langsung mungkin tidak terjadi, tetapi tidak langsung dapat terjadi dengan adanya penyalahgunaan data dan berefek pada duplikasi data. Hal inilah yang memicu terjadinya korupsi.

Selain ICW, ada juga Fitra, salah satu LSM yang menyoroti masalah anggaran pemerintah, juga menyoroti keberadaan kartu sakti Jokowi. Berbeda dengan pandangan ICW, Fitra menitik beratkan pada hal ketidaksiapan perangkat dan sarana rumah sakit, terutama rumah sakit swasta, sebagai tempat rujukan pengobatan dan pemeriksaan peserta kartu KKS Jokowi, maka dari itu perlu ada sosialisasi ke rumah-rumah sakit dari pemerintah Jokowi sebelum melaksanakan program kartu-kartu saktinya. Fitra menyimpulkan kesan Jokowi kerja terburu-buru, yang penting kerja, kerja, kerja meski harus menerobos aturan. Kalau model kerja seperti itu tampaknya Jokowi menelan mentah-mentah pendapat Buya Hamka bahwa kerja, kerja, kerja tanpa aturan sama dengan kerbau.

Kritik dari ICW dan Fitra tidak dijadikan cambuk untuk KPK. KPK diam dan bungkam melihat sesuatu yang berpontensi korupsi. Padahal peran KPK sangat dibutuhkan dalam masalah kartu saktinya Jokowi. Tapi tampaknya KPK lebih senang mengobati penyakit borok korupsi yang menimpa para pejabat Indonesia, daripada berusaha mencegah supaya tidak terjadi korupsi, atau dengan kata lain, senang mengepel lantai yang bocor akibat genteng bocor daripada menutup genteng bocor supaya tidak terjadi lantai basah.

Cara kerja KPK seperti ini justru menyuburkan korupsi di kalangan pejabat di Indonesia, dan sudah tidak perlu diterapkan lagi pada proses pemberantasan korupsi. Perlu dicatat oleh KPK bahwa seseorang melakukan korupsi karena dua hal niat dan kesempatan. Dua hal tersebut harus ditutup, jangan sampai tumbuh dan berkembang di masyarakat. Niat dapat dilawan dengan memberi pendidikan anti korupsi ke semua lini pemerintahan, kemudian kesempatan dapat ditekan dengan selalu berkoordinasi dan konsolidasi dengan semua perangkat pemerintahan. Kalau kerja KPK hanya menangkap dan memeriksa tak ubahnya kerja preman pasar atau pembunuh bayaran yang bekerja ketika bertindak setelah ada sesuatu yang terjadi.

Bayangkan dilantik belum sampai sebulan, Jokowi mengeluarkan jurus sakti, dan herannya KPK seperti dicocok hidungnya seperti kerbau alias tidak tahu harus berbuat apa-apa. Mestinya KPK curiga tender kartu-kartu tersebut atau landasan hukumnya. Selain itu juga KPK perlu juga memantau segala kesiapan dan perangkatnya. Apakah KPK buta dengan kasus-kasus yang sebelum yang hampir sama dengan kartu sakti Jokowi. Ingat Century dan Hambalang terjadi dari proses terburu-buru, bukan dari hasil pemikiran yang matang sebab dan akibatnya. Apakah KPK senang mengulang kasus-kasus yang mirip kejadiannya?

Ya kalau KPK ingin pencitraan ya silahkan saja, tapi jangan coba-coba disalahkan kalau ada pihak lain diluar KPK yang menyatakan kekecewaan dan ujung-ujungnya meminta KPK dibubarkan. Gaji para petugas KPK dibayar dari uang rakyat, tentunya bekerja dan berbuat atas dan demi kepentingan rakyat, bukan ikut-ikutan pencitraan seperti Jokowi, atau seperti era SBY KPK dibuat tak berdaya oleh indikasi kasus korupsi yang menimpa anak presiden.

KPK lahir dari rahim rakyat. Karena datang dari rakyat, sudah sewajarnya publik berhak mengetahui hal-hal yang berkepentingan dengan rakyat, termasuk landasan hukum dan mekanisme aturannya. KPK berdiri tegak pada seluruh aturan dan tidak menjadi macan ompong karena ketidakberdayaannya berpikir pada kartu-kartu sakti Jokowi. Akhir kata untuk KPK, Kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun