Kenaikan BBM yang diumumkan secara diam-diam oleh Jokowi telah menimbulkan perubahan prilaku sopir angkutan umum. Lihat apa yang yang menimpa para penumpang angkot di Pinrang, Sulawesi Selatan, Hanya karena kenaikan BBM, para sopir di Pinrang bertindak arogansi dengan menaikan tarif angkutan secara sepihak. Ketika ada penumpang yang tidak mau bayar sesuai dengan tarif yang mereka tentukan, yakni sebesar Rp. 30.000 ribu dari tarif sebelumnya Rp. 20.000 per penumpang untuk jurusan Polewali-Pinrang, tak segan-segan para penumpang dipaksa turun di tengah jalan. Peristiwa ini nyata terjadi Rabu (19/11/2014) kemarin sebagaimana yang dilaporkan kompas.
Antara teori dan praktek bertolak belakang. Menurut teorinya kenaikan BBM yang hanya Rp. 2000 seharusnya angkot pun naik hanya Rp. 2000,- (Rp. 22.000,-) atau paling tinggi setidaknya Rp. 5000 (Rp. 25.000,-), akan tetapi teori itu seperti tidak berjalan. Dan yang ada praktek dilapangan, telah diterjemahkan dengan liar oleh supir angkot di Pinrang menjadi Rp. 10.000,- (Rp. 30.000), bahkan ada yang Rp. 35.000,-. Sudah barang tentu penumpang yang normal menolak. Selain tarif itu sudah tidak masuk akal, tetapi juga belum adanya pengumuman resmi dari dinas terkait berapa persen harus naik.
Seorang penumpang, Tri Hardiyanti penumpang asal Binuang-Pinrang misalnya. Dia mengaku turun dari mobil angkutan lantaran sopir angkutan yang ditumpanginya meminta tarif tinggi di tengah jalan. “Semula penumpang naik, namun di tengah jalan sopir menyampaikan kenaikan tarif angkutan hingga Rp 30.000 padahal biasanya hanya Rp 20.000 saja. Belum lagi sopir menaikkan tarif lebih tinggi,” ujar Tri. (kompas.com)
Penumpang lain tak kalah miris pengalaman karena diperlakukan oleh tindakan supir angkot adalah Naila, ibu rumah tangga dua anak ini juga mengeluhkan sikap sebagian sopir yang seenaknya menaikkan tarif angkutan di luar batas kewajaran. Sejumlah sopir dinilai justru memanfaatkan situasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengeruk pendapatan yang tidak halal.
“Saya terpaksa bayar Rp 35.000 karena sudah terlanjur naik mobil dan dua anak saya. Karena repot naik turun kendaran apalagi ada dua anak saya. Akhirnya saya hanya pasrah saja meski saya sangat kesal,” ujar Naila. (kompas.com)
Menghadapi situasi kenaikan BBM ini, umumnya para penumpang mengalami situasi dilematis. Jika membayar dengan tarif 'baru' artinya dia harus mengurangi kebutuhan yang lainnya. Bagi orang-orang kecil, lembaran uang Rp. 2.000, 5.000, atau 10.000,- sangat berarti. Tetapi kalau dia tidak membayar sudah pasti diturunkan di jalan. Ujung-ujungnya dia tetap saja akan menghadapi situasi yang sama.
Biasa setiap kenaikan BBM, acapkali para penumpang dan supir angkot selalu bertengkar. Dan hal tersebut hampir terjadi di seluruh Indonesia. Siapa yang jadi korban, tentu saja dua-duanya. Supir angkot dapat penghasilan hanya mengandalkan setoran penumpang, sementara para penumpang yang umumnya berasal dari golongan menengah ke bawah dengan penghasilan pas-pasan. Keduanya sudah barang tentu mengalami kesulitan paska kenaikan BBM.
Itu baru masalah angkutan, bagaimana dengan kenaikan sembako, lalu listrik dan kebutuhan-kebutuhan lain yang sudah barang tentu ikut terkerek naik akibat kenaikan BBM. Nilai uang Rp. 2000,- memang tergolong kecil, uang tersebut biasanya digunakan untuk tarif parkir. Tetapi dari uang Rp. 2000,- ternyata berdampak besar terhadap masyarakat kecil, karena begitu yang terjadi di lapangan, uang tersebut dapat berlipat-lipat dampaknya. Dan lagi-lagi yang jadi korban adalah rakyat kecil, yang berpenghasilan pas-pasan.
Mereka hanya bisa protes dalam hati dengan mengelus dada dan tak henti-hentinya bergumam "Duh, Susahnya Jadi Orang Kecil".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H