Amat saat menceritakan pekerjaannya kepada para wartawan di Kantor Satpol PP Kota Serang, Selasa (9/12/2014). (Radar Banten, Fauzan Dardiri )
Cerita tentang pengemis kaya sudah banyak diulas di beberapa media. Lewat media-media tersebut, kita jadi paham bahwa mengemis bukan lagi sebagai salah satu korban ekonomi, tetapi sudah menjadikan pekerjaan atau profesi. Hal itu menimpa pada Amat, seorang kakek, berusia 82 tahun. Â Belasan tahun menjadi pengemis di Kota Cilegon dan Kota Serang, Amat kini miliki kreditan mobil dan motor. Pengakuannya terungkap oleh pria renta ketika dirazia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kota Serang di Perempatan Ciceri, Kota Serang, Selasa (Radar Banten, 9/12/2014).
"Sudah belasan tahun saya ngemis di Cilegon dan Serang. Alhamdulillah saya punya kreditan mobil pick up dan motor yang mesinnya gede itu (Yamaha Satria F-red)," ungkap Amat kepada wartawan saat ditemui di Kantor Satpol-PP Kota Serang.
Dari hasil wawancara lebih jauh lagi, kakek yang mengaku berasal dari Lebak ini, menyatakan bahwa benar penghasilan sehari-hari menjadi pengemis bisa mencapai tiga sampai empat juta rupiah per bulan. "Setiap hari minimal Rp100 ribu. Kalau hari libur (Sabtu dan Minggu-red) bisa mencapai Rp150 ribu sampai Rp200 ribu per hari. Lumayan buat bayar cicilan mobil dan motor. Mobil saja DP-nya Rp15 juta, cicilannya Rp3 juta. Motor DP-nya Rp4 juta, cicilannya Rp900 ribu per bulan. Jadi per bulannya harus Rp4 juta buat bayar kreditan," kata Amat. Selain memiliki kendaraan, ia juga memiliki lio atau tempat pembuatan batu bata di kampungnya. Dari apa yang dimiliki menegaskan bahwa menjadi pengemis buat kakek seperti dia lebih menjanjikan daripada menjadi buruh tani. Sayangnya tidak semuanya pengemis itu tua seperti dirinya, kadang-kadang ada juga ibu-ibu menggendong bayi pinjaman duduk mengemis di trotoar jalan, atau yang lebih gila lagi anak-anak funk berbadan sehat tanpa malu mengemis di perempatan lampu merah.
Umumnya orang-orang yang berjiwa pengemis karena dirinya merasa ingin bebas tanpa aturan, namun disisi lain mereka masih bernafsu mengejar kekayaan. Alasan tersebut terbukti dari pengakuan si kakek yang biasa mengemis di Perumahan Cilegon Indah, Kramatwatu, Warung Pojok, dan Ciceri. Menurutnya bahwa dia mengemis ingin hidup bebas dan enak dengan apa yang dihasilkan pengemis. Orang lain, termasuk anaknya tak berhak melarang dia untuk mengemis.
meski anaknya seringkali melarang dirinya untuk mengemis, namun ia tetap memaksa. "Saya ingin hidup bebas saja, kan enak. Lumayan bisa buat bayar cicilan mobil," kata Amat. Apa yang terjadi pada Amat, boleh jadi banyak terjadi pada pengemis-pengemis lainnya di beberapa kota di Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK harus memberi perhatian serius terhadap masalah pengemis sesuai janji untuk merevolusi mental bangsa ini. khususnya para pengemis yang berbadan sehat dan terlihat mampu bekerja harus diberdayakan jangan terus jadi benalu masyarakat.
Persoalan pengemis kaya seperti Amat dapat menimbulkan pro dan kontra dalam perspektif pandangan masyarakat. Bagi yang pro mengganggap bahwa apa yang dilakukan Amat adalah profesi juga, dengan demikian apa salahnya mereka yang pro ikut terjun menjadi pengemis. Dan yang kontra akan menimbulkan kecemburuan dan antipati terhadap pengemis, bahkan menambah kebencian masyarakat. Ada baiknya pengemis pun perlu direvolusi mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H