Tulisan ini terinspirasi dari kejadian 22 maret 2016 tentang fenomena penolakan supir taksi konvensional atas taksi yang dipesan via online. Nah melihat kejadian tersebut sepertinya kalau memang kurang adil bagi konvensional yang memikul beban berat harus melawan taksi online yang ringan. Ibarat motor 125 CC vs 250 CC . Biarpun rossi pasti kalah kalau pake yang 125 CC.
mending kalau seperti yang terjadi tentu saja harus disamakan dahulu. Taksi online meski mereka bilang private dan tidak semua orang bisa naik (kata seorang perwakilan mitra uber di TV one 22 maret 2016 saya lupa namanya) tapi karena mereka membawa penumpang maka keselamatan penumpang adalah harga mati. Ingat dalam konsep hukum HAM dimana masyarakat menitipkan sebagian hak mereka untuk ditangani negara. Dan negara berkewajiban melindungi masyarakatnya.
ketika sudah berplat kuning, pakai argo resmi , supirnya berlisensi SIM A untuk kendaraan umum sudah silahkan bermain. Boleh juga Traveloka dan tiket.com mulai membuka tiket. Nah promo dimulai . Misal taksi A memberikan diskon 25% untuk transaksi di merchant ABC, taksi B memberikan argo 1/2 harga untuk perjalanan diatas 20 KM. Atau untuk menggunakan hitungan kilometer . 1 kilometer dapat 1 poin. Tiap poin bisa diundi umroh tiap 3 bulan. Fair ? Iya fair bangetÂ
kalau grab dan uber memang murah dan private tidak semua orang bisa naik ya silahkan asal adil semuanya pakai sepatu , semuanya pakai dasi, dan semuanya pakai sabuk pengaman. Seperi industri pesawat terbang yang adil
saya pun penasaran jika ini terjadi apakah sikap taksi online pioneer memutar otak karena memang murni murah atau ada indikasi monopoli dari segi rule of reason
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H