Demokrasi, menurut buku yang sejauh ini saya baca lahir di Yunani dan mulai berkembang pasca perang dunia pertama di Eropa. Soalnya di buku "Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi" karya Bung Hatta, partai Sosialis dan Demokrat baru lahir di Eropa menjelang tahun 1920an. Saya sudah terbaca seperti anak sejarah ya, rajin banget hapalin tahunnya.
Demokrat atau Demokrasi sistem pemilihannya sebenarnya hampir sama seperti musyawarah RT atau RW hingga Kelurahan. Tapi pada dasarnya warga tidak memilih calon yang sudah ada, melainkan diawali dengan calon yang dipilih dan diajukan oleh para warga itu sendiri. Setelahnya barulah diadakan pemilihan suara seperti yang kita pakai di Indonesia saat ini (Pemilu, PilKaDa, PiLeg, PilPres, dst)
Ada satu jargon yang sering disebut-sebut oleh orang-orang yang mengkampanyekan Demokrasi, yaitu "Suara Rakyat Suara Tuhan". Atau dalam bahasa kerennya disebut dengan istilah Vox Populi Vox Dei. Dengan pernyataan ini, seolah Tuhan dipolitisasi oleh rakyat.Â
Rakyat bersama-sama dan berbondong-bondong memaksa Tuhan untuk menyetujui apa atau siapa yang dipilih oleh rakyat untuk menjadi pemimpin. Disini rakyat bebas untuk menyuarakan atau mengajukan calonnya, tak peduli pendidikan, moral, etika, pengalaman, serta kejujurannya dalam bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Intinya kalo rakyat suka, rakyat senang, maka sah-sah saja.
Hal ini berbahaya jika rakyat yang "bebas" ini dalam mengajukan calon tidak memiliki pengetahuan dan jaminan mengenai pemimpin yang dia ajukan. Namun akan menjadi sangat briliant jika rakyatnya berpengetahuan, penuh kebijaksanaan dan cerdas dalam memilih pemimpin.Â
Di seberang paham Demokrasi, ada kubu Aristokrasi. Yaitu sistem politik yang dalam memilih pemimpin, elemen masyarakat di wakili oleh seorang tetua atau seorang yang memiliki pengaruh, bangsawan, darah biru, preman, ulama, kyai, ustadz atau seorang hartawan di suatu wilayah untuk menyerahkan suaranya dalam pemilihan pemimpin. Sistem ini memiliki jargon, Vox Dei Vox Populi atau Suara Tuhan Suara Rakyat.
Disini tokoh tetua pun kebanyakan dipandang sebagai seorang cendikiawan, atau seorang pemuka agama yang disinyalir memiliki kedekatan dengan Tuhan. Sehingga menjadi layak dijadikan representasi kehendak Tuhan dalam memilih pemimpin.Â
Sah-sah saja sebenarnya. Hanya saja, kebanyakan yang terjadi adalah tokoh-tokoh ini pun mudah dibeli dengan 3 hal, harta-tahta-wanita. Yang pada akhirnya suara Tuhan kembali terpolitisasi oleh kalangan "Elite" yang memiliki modal besar untuk membeli tokoh-tokoh itu.
Asik ya pembahasan saya, kaya yang ngerti aja. Wkwkwk...
Satu hal pemicu yang memungkinkan terjadinya kecelakaan tersebut pada kubu aristokrasi adalah ketika para tokoh mulai membodohi rakyat yang menokohkannya. Dan rakyat terlanjur "taqlid buta" terhadap tokoh tersebut sehingga dengan mudah bisa dibodohi oleh para tokoh.
Sebenarnya dua sistem ini bergulir secara bergantian di pemerintahan Yunani. Juga di beberapa negara serta kerajaan lainnya yang pernah ada di dunia. Di Indonesia juga seperti itu, dari masa Aristokrasi (Orde Baru), lalu berganti ke Demokrasi (Orde Lama) dan di periode belakangan ini (Reformasi) arahnya mulai kembali berlaku sistem Aristokrasi. Walaupun tidak secara langsung disebut demikian, dan secara tidak sadar kita telah menjalaninya.