Beruntung sekali bisa mengenal dan mendapat ilmu dari orang-orang hebat dan penuh inspirasi. Tidak sedikit perkenalan dengan orang-orang yang patut dikagumi itu bermula dari proses membaca, baik cetak maupun elektronik. Untuk yang terakhir ini, lagi-lagi melalui fasilitas internet. Itulah yang saya alami. Salah satu sosok yang mengundang salut itu adalah Pak Dedi Dwitagama. Saya mengenal beliau memang tidak lama, hanya dalam hitungan jam saja. Yakni pada acara Pelatihan Menulis untuk Guru di Aula Wisma Universitas Negeri Jakarta Jalan Pemuda Rawamangun Jakarta Timur, Minggu 25 Nopember 2012. Kala itu Pak Dedi membawakan materi terakhir dengan tema "Creative Writing for Interest", menjelang waktu ashar. Judul yang menarik, dan ternyata Pak Dedi berhasil membawakannya dengan sangat menarik pula disertai berbagai ilustrasi penuh inspirasi dan motivasi. Saya yang pada materi sebelumnya sangat mengantuk sontak terjaga dan memperhatikan dengan seksama. Maklum acara dari pagi hingga sore hari, hanya istirahat waktu sholat zuhur dan makan beberapa saat. Dan hanya mendengar tentu mengundang kantuk. Tapi beda saat Pak Dedi yang bicara. Diantara kebiasaan Pak Dedi Dwitagama yang patut diacungi jempol adalah tidak menggunakan uang sekolah untuk wisata. Beliau, seorang kepala sekolah, menceritakan pernah diajak oleh teman-teman (kepala sekolah, pen) untuk bepergian ke Korea. Beliau menolaknya. Pantang bepergian untuk urusan pribadi dengan uang sekolah, kira-kira begitulah pendirian beliau. Pendirian seperti itu bagi seorang kepala sekolah di zaman sekarang rasanya sulit dilaksanakan, terlebih kepala sekolah di Jakarta. Ada saja godaan untuk menilep uang sekolah untuk keperluan pribadi, semisal untuk keperluan jalan-jalan itu, kadang dengan embel-embel studi banding dan sejenisnya. Jadi teringat dengan salah satu kepala sekolah saya waktu dulu, setiap tahun pengennya jalan-jalan ke daerah lain. Walau dengan membawa serta para guru dan staf pegawai sekolah, rasanya itu tidak dapat dibenarkan. Sebabnya itu menggunakan anggaran sekolah, (walaupun itu sudah berstatus "sisa anggaran"). Satu lagi kebiasaan Pak Dedi yang saya sukai adalah tidak pernah menghubungi bawahan di luar jam kerja. Bagi beliau, pekerjaan sekolah jangan pernah dibawa ke rumah. Sebaliknya, saat bekerja di sekolah, jangan sampai mengerjakan hal lain selain pekerjaan sekolah. Baik untuk guru maupun staf pegawai sekolah. Saya kembali teringat salah satu kepala sekolah saya dulu. Betapa seringnya beliau menelpon saya saat di luar jam sekolah. Kadang sore hari, kadang malam, bahkan saat minggu hari pun masih juga menghubungi untuk urusan sekolah. Seakan-akan hidup sehari semalam hanya berurusan dengan pekerjaan di sekolah yang tak ada habis-habisnya. Padahal kita semua punya keluarga dan keperluan lain yang harus dipenuhi sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Semoga kita dapat mempraktikkan keteladananmu pak Dedi! Dan semoga saya dapat kembali bertemu untuk mengambil banyak pelajaran lain, juga dari orang-orang yang penuh inspirasi seperti beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H