Mohon tunggu...
Sulistiyo
Sulistiyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi pendidikan, pembelajar social and financial enterprise

Berbagi menjadi pelajaran dan pengalaman yang paling berkesan, sekaligus sumber utama meraih kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengusir Kebencian, Merawat Cinta Kasih

16 Januari 2020   16:54 Diperbarui: 16 Januari 2020   16:55 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, sebelum ada medsos, kebencian tersebar lambat. Merambat pelan dari mulut ke mulut. Dan karena sebagian orang risih berbicara karena etika masih dijunjung tinggi, maka makin sulit tersebar. Ketika kecil, saya terkadang mendengar ucapan dan bisik-bisik kebencian, tetapi terkungkung di kamar kamar yang sempit, atau jadi bahan cerita kumpulan ibu-ibu rempong yang  hobi ngerumpi.

Dulu, sebelum ada medsos, virus kebencian tertahan oleh media, yang mungkin juga dikendalikan pemerintah. Tetapi media seingat saya juga masih menjunjung kode etik jurnalistik yang tinggi. Kini seringkali, tanpa menafikan banyak wartawan yang tetap memegang etika, kebencian tersebar begitu rupa bahkan oleh media mainstream sekalipun. Lucunya, kadang media yang seharusnya menjadi koreksi atas keliaran berbagai carut marut kebencian di medsos, malah ikut larut terbawa arus.

Medsos menjadi sarana utama banjirnya kebencian, sebagian orang tertelan oleh air bah kebencian. Sebagian lain menikmati, berenang dan bahkan beternak hingga beranak pinak 'ikan ikan' kebencian. Sebagian yang lain memancing 'ikan' kebencian dan menyantapnya, atau melemparkannya ke kolam lain. Sebagian yang lain menjadi korban dan berujung di sel penjara akibat tak kuasa menahan gelora kebencian dalam dirinya. 

Politik jadi ajang yang mengerikan untuk perang kebencian. Setiap hari, setiap detik, setiap waktu masing-masing pendukung, sekali lagi tanpa menafikan pendukung yang rasional, meluapkan virus-virus kebencian di medsos. Dari sebelum pemilukada, pemilu legislatif dan yang paling parah pemilu presiden. Ironisnya, dendam dan kebencian masih tertanam kuat pasca pilpres. Yang lebih menyedihkan, virus kebencian tidak memandang bencana dan penderitaan untuk menjadi prioritas untuk kita beri empati seluas dan sedalam mungkin, tetapi justru bencana menjadi ajang untuk saling menyalahkan, untuk menulis kata-kata penuh hasutan, caci maki dan menabur badai kebencian.

Apakah mungkin peradaban dibangun sedang di sekitar kita tertanam bibit bibit kebencian? Apakah logis kita dan masyarakat kita akan bahagia dan sejahtera, jika setiap kita memberi andil atas berbagai benih benih kebencian? Atau sebaliknya, kebencian adalah akar permusuhan, pertengkaran dan berakhir pembunuhan atas jiwa saudara kita. Dan jika sudah terjadi pembunuhan atas satu jiwa karena kebencian sekelompok orang, maka bencana terbesar perpecahan bangsa yang akan terjadi. Seperti terpecahnya berbagai negara di Afrika dan Timur Tengah.

Merawat Cinta Kasih

Kebencian berasal dari egoisme. Musuh utama egois adalah memberi. Memberi sekecil apapun adalah bagian dari mengikis egoisme dalam diri kita. Termasuk di dalamnya, lebih elegan memberi solusi ketimbang caci maki di medsos. Semakin sering kita memberi, mulai dari yang sederhana, hingga nanti jika mampu memberikan barang yang kita cintai, maka makin mungkin hati kita terbebas dari egoisme dan kebencian. Memberi hanya bisa dilakukan oleh hati dan jiwa yang penuh cinta kasih.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun