Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan populasi penduduk tertinggi per tahun 2015 dengan tingkat perkembangan infrastruktur yang merupakan salah satu yang tercepat dan terbesar di Indonesia. Dengan visi pembangunan “Dengan Iman dan Takwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia“ yang diusung sedari tahun 2005 hingga tahun 2025 menunjukkan bahwa pemerintah Jawa Barat sangatlah serius dalam memajukan pembangunan dan perkembangan wilayah di segala lini baik dari aspek sumber daya manusia, aspek ekonomi, aspek pemerintahan, serta aspek sosial.
Menginjak era dengan perputaran arus ekonomi yang sangat tinggi seperti sekarang ini, penggunaan dana pusat dan daerah sebagai dana utama untuk membiayai sebuah pembangunan dirasa mulai memberatkan kas keuangan daerah mengingat terbatasnya anggaran dan juga kemungkinan munculnya dana-dana eksternal yang tidak terdaftar dalam rincian dana anggaran.
Oleh karena itu, pembiayaan dengan cara non-konvensional baik pembiayaan melalui pendapatan, pembiayaan melalui hutang, dan pembiayaan melalui kekayaan dirasa mampu menjadi alternatif yang jitu untuk menambal atau bahkan membiayai sepenuhnya suatu pembangunan guna memajukan daerah. Begitu pula yang coba dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat untuk memuluskan langkahnya dalam proses percepatan pembangunan infrastruktur di wilayahnya. Pilihan yang kemudian coba ditempuh oleh pemerintah Jawa Barat adalah cara pembiayaan non-konvensional melalui pembiayaan melalui hutang, yang jatuh kepada obligasi.
Ilustrasi - penjualan obligasi pemerintah (Kompas)
Menurut Riyanto (1977 : 128), obligasi adalah suatu pengakuan hutang yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan atau lembaga-lembaga lain sebagai pihak yang berhutang yang mempunyai nilai nominal tertentu dan kesanggupan untuk membayar bunga secara periodik atas dasar persentase tertentu yang tetap. Saat ini, obligasi dianggap sebagai salah satu sumber pembiayaan alternatif yang tepat dikarenakan dana yang cepat keluar dan cicilan yang ringan, yang mana disesuaikan dengan suku bunga yang berlaku.
Pada prosesnya, rencana pelaksanaan obligasi akan sesegera mungkin dirampungkan yaitu per Januari 2016, dimana nilai obligasi yang dikeluarkan diprediksi mencapai Rp. 8 Triliun. Nantinya, dana tersebut akan digunakan untuk mendanai sejumlah proyek di Jawa Barat seperti Bandar Udara Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka, tol Gedebage-Tasikmalaya, tol Sukabumi-Ciranjang, dan tol Cisumdawu (Cileunyi, Sumedang, Dawuan). Menariknya, nilai ini naik dua kali lipat dari rencana awal sebesar Rp. 4 Triliun.
Adapun tenor atau jangka waktu surat obligasi yang diterbitkan adalah selama 10 tahun yang mana pemberian tenor dilakukan dengan mempertimbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang nantinya akan dipergunakan untuk mengembalikan dana obligasi kepada investor berikut yield yang belum ditentukan. Namun, apabila PAD tidak meningkat, maka menerbitkan obligasi akan seperti bumerang mengingat hal ini merupakan investasi jangka panjang.
Agar proses penerbitan surat obligasi berjalan sesuai dengan kebijakan dan regulasi yang ada, pemerintah Jawa Barat tentunya dapat menjadikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 111 Tahu 2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah sebagai pedoman umum dalam pelaksanaan lebih lanjut ke depannya.
Bak gayung bersambut, penerbitan surat obligasi ini diyakini diminati oleh banyak investor, yang mana investor yang benar-benar menyatakan keseriusannya adalah International Finance Corporation (IFC) selaku anak usaha dari Bank Dunia. IFC adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan sebagai afiliasi Bank Dunia yang memiliki tujan membantu pembiayaan pembangunan negara-negara anggota yang belum maju atau kategori berkembang melalui pemberian pinjaman dan/atau penyertaan pada sektor swasta, tepatnya didirikan pada tahun 1956.
Indonesia sendiri sebenarnya telah bergabung menjadi anggota IFC sejak tahun 1968. Diharapkan, proses ‘supply’ yang akan dilakukan oleh IFC mampu memenuhi ‘demand’ yang dibutuhkan oleh pemerintah Jawa Barat.
Berangkat dari kacamata penulis, Jawa Barat sudah barang tentu boleh menepuk dada mengingat ini merupakan pertama kalinya sebuah provinsi di Indonesia mampu menerbitkan obligasi daerah. Apabila berhasil, hal ini akan menjadi semacam pintu gerbang ataupun angin segar bagi provinsi-provinsi lain yang juga ingin ‘turut mencoba’ menerbitkan obligasi sebagai jalan alternatif atas perencanaan pembangunan yang akan dilakukan dengan pembiayaan yang tidak sedikit. Belum lagi, fakta lain yang menunjukkan bahwa Jawa Barat telah benar-benar siap adalah data yang berhasil dihimpun oleh PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).