mental adalah isu yang sering dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir yang kemudian berkembang menjadi kesadaran kolektif bagi beberapa individu yang menyadari betapa pentingnya kesehatan mental terlebih di era modern ini. Topik yang berkaitan dengan kesehatan mental adalah fenomena stres yang menguat belakangan ini. Kesehatan
Fenomena ini seakan menjadi keseharian bagi umat manusia modern dan berbagai faktor diduga menjadi variabel bagi munculnya stres. Mulai dari masalah finansial sampai masalah pekerjaan, hal ini yang menjadi pemantik untuk timbulnya stres dalam kehidupan sehari-hari.
Stres dapat diartikan sebagai respons emosional terhadap situasi yang dianggap mengancam atau menantang. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan reaksi secara psikologis yang ditimbulkan akibat adanya kondisi yang menekan seorang individu tersebut. Selain itu, stres dapat berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental seseorang, tergantung pada bagaimana individu tersebut mengelola dan merespons stres tersebut.
Fenomena stres yang terjadi saat ini tak memandang usia. Mulai dari orang tua, remaja bahkan anak-anak pun rentan untuk terkena stres dan yang menjadi kelompok usia rawan dalam mengalami stres ialah kelompok usia remaja sampai dewasa awal. Usia remaja sampai dewasa awal ini yang sering disebut dengan generasi Z. Nampaknya, istilah ini sudah tak asing di telinga kita karena istilah ini sering menyebutkan fase perkembangan manusia yang dimana titik puncak produktif manusia berada di usia ini.
Generasi zoomer atau yang biasa disingkat generasi Z, merupakan kelompok individu yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Banyak yang menaruh ekspektasi pada generasi ini sebagai generasi gemilang yang akan membawa harapan dan impian bangsa agar lebih baik kedepan.
Namun, terlalu banyak ekspektasi juga tidak baik. Nyatanya, generasi Z menghadapi tuntutan yang semakin menekan dalam konteks dunia modern. Dihadapkan dengan persaingan global yang ketat, perubahan teknologi yang pesat, dan ketidakpastian ekonomi, tingkat stres di kalangan Generasi Z menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan.
Menurut penelitian University College London, tingkat depresi pada Gen Z dua pertiga lebih tinggi daripada generasi sebelumnya, yaitu millenial. Hal ini juga didukung oleh hasil riset Pew Research Center yang menunjukkan bahwa sekitar 70 persen remaja Gen Z mengalami kecemasan dan depresi. Dan menurut laporan dari American Psychological Association, sekitar 91% dari generasi Z mengalami tingkat stres yang tinggi terkait dengan tuntutan akademik, tekanan sosial, dan kekhawatiran tentang masa depan.
Data tersebut menunjukkan prevalensi stres di kalangan generasi Z yang sangat tinggi. Hal ini tidak lepas dari variabel yang menjadi pemicu munculnya fenomena stres yang terjadi pada generasi Z. Salah satu faktor utama pemicu stres pada generasi ini adalah tuntutan akademis yang tinggi. Bagi generasi Z yang masih mengenyam bangku pendidikan, baik itu pendidikan menengah maupun tinggi, beban belajar yang berat serta tuntutan nilai yang tinggi, dapat menciptakan rasa cemas dan stres yang signifikan.
Saat ini, stres akademik menjadi momok menakutkan bagi pelajar dan mahasiswa. Stres akademik yang menghantui, menjadi akar dari berbagai permasalahan yang muncul baik depresi bahkan berujung pada bunuh diri. Stres akademik sendiri yang berkaitan dengan respon individu terkait berbagai masalah akademik yang muncul dan faktornya bisa dari luar diri individu maupun dari dalam diri individu yang menjadi penyebab lahirnya stres akademik.
Di samping itu, tuntutan dalam dunia pekerjaan juga memberikan beban tersendiri. Bagi generasi Z yang telah memasuki dunia kerja, faktor ketidakpastian dan tuntutan kinerja yang tinggi menjadi salah satu hal yang membuat individu merasa tertekan. Tuntutan jam kerja yang panjang serta tekanan tugas dalam pekerjaan, dapat meningkatkan fenomena stres pada pekerja di kalangan generasi Z.
Peran dari teknologi yang semakin majuj uga turut andil pada tingginya tingkat stres pada generasi Z. Perkembangan media sosial, meskipun menawarkan koneksi dan informasi yang luas, juga memiliki dampak negatif pada kesehatan mental individu. Generasi Z seringkali membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, yang dapat memicu perasaan rendah diri, kecemasan sosial, dan tekanan untuk tampil sempurna.
Penyebab lainnya dari munculnya stres di kelompok umur gen z adalah ketidakpastian ekonomi dan tantangan global juga menambah beban mental. Berbagai macam permasalahan kontemporer seperti krisis ekonomi bahkan perubahan iklim bertanggung jawab dalam menyebabkan stres bagi gen z. Gen Z merasa beban tanggung jawab untuk menghadapi tantangan ini, yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan.
Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa hampir 10 juta gen Z atau sekitar 9,9 juta anak muda yang tergolong usia produktif termasuk pada kategori pengangguran atau hopeless of job. Tentu hal ini cukup riskan mengingat saat ini generasi Z yang merupakan penduduk dengan usia produktif (sekitar 15-24 tahun) kurang maksimal dalam mendapatkan kesempatan untuk mengakses dunia pekerjaan.
Kita bisa melihat bahwa fenomena hopeless of job ini dapat meningkatkan angka pengangguran yang semakin tinggi. Di sisi yang lain, angka pengangguran yang semakin tinggi menimbulkan "efek domino" di tengah kehidupan sosial bermasyarakat. Salah satu efek domino tersebut ialah berdampak langsung kesejahteraan mental dari kalangan generasi Z itu sendiri. Kesehatan mental yang terganggu merupakan sebuah ancaman bagi generasi Z yang secara usia telah masuk pada usia produktif namun belum termasuk ke dalam angkatan kerja.
Sampai sini, terdapat banyak variabel penyebab dari stres yang terjadi pada generasi z. Tingginya tingkat stres memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik maupun mental mereka. Gejala stres seperti insomnia, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan kelelahan (burnout) menjadi semakin umum. Selain itu, stres juga dapat memicu masalah mental seperti kecemasan, depresi bahkan yang terparah berujung pada tindakan bunuh diri.
Hal ini dapat dicegah dengan menanamkan kesadaran untuk merawat kesehatan mental pada gen Z. Kesehatan mental merupakan aset berharga yang dimiliki oleh setiap manusia.
Oleh sebabnya, menjaga kesehatan mental sama halnya dengan menjaga kesehatan fisik. Beribadah dengan teratur, memanajemen waktu dengan baik, membangun hubungan sosial dengan orang lain, batasi penggunaan media sosial, istirahat yang cukup, makan makanan bergizi dan olahraga teratur merupakan beberapa cara yang bisa dilakukan bagi setiap individu dalam mencegah terjadinya stres.
Selain itu, penting juga untuk berkonsultasi dengan konselor maupun terapis. Terkait dengan hal ini juga cukup menjadi perhatian mengingat sulitnya mengakses layanan konselor dan terapis terkhususnya bagi para generasi Z. Ketersediaan layanan psikologi yang terbatas dan cukup eksklusif membuat orang-orang semakin jauh untuk mendapatkan akses layanan psikologi. Ini juga menjadi tugas bagi stakeholder terkait dalam meningkatkan layanan psikologi yang terjangkau oleh semua orang.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan terkait harus mampu untuk merumuskan strategi agar bagaimana meningkatkan kesejahteraan mental bagi seluruh masyarakat terkhususnya generasi Z. Peningkatan kesejahteraan mental merupakan salah satu indikator dalam terwujudnya program Sustainable Development Goals (SDG's) yang dicanangkan oleh PBB di tahun 2015 yang lalu.
Maka dari itu, yang utama dalam hal ini adalah bagaimana menciptakan suatu program yang layak dan dapat mendukung bertumbuh serta berkembangnya kesejahteraan mental yang positif bagi semua orang yang dalam hal ini adalah kalangan generasi Z.
Adapun strategi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan mental bagi generasi Z bisa dilakukan di berbagai sektor, seperti di bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan maupun ketenagakerjaan yang menjadi titik vital faktor pemicu stres bagi para generasi Z.
Sementara itu, generasi Z yang saat ini memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa juga tidak sepantasnya merasa diri inferior dalam menghadapi realitas kehidupan. Terkadang, generasi z diidentikan sebagai "strawberry generation" yaitu generasi yang terlihat menarik namun mudah rapuh dan hancur layaknya buah stroberi.
Stigma yang mengatakan bahwa generasi Z merupakan generasi yang lemah dan tak tahan dengan tekanan, harus mampu dihilangkan dalam diri setiap generasi Z itu sendiri. Generasi Z bukanlah generasi yang lemah dan tidak kuat menghadapi tekanan, melainkan generasi yang kuat dan tahan terhadap berbagai tekanan.
Generasi Z juga memiliki kreativitas dan pemikiran lebih terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya. Hal ini yang menjadi modal utama yang dapat diaktualisasikan yang menjadikan generasi Z sebagai pilar pembangunan bangsa Indonesia kedepannya.
Fenomena stres yang melanda generasi Z dan generasi lainnya cukup menjadi perhatian kita bersama bahwa menjaga kesehatan mental di tengah kehidupan hari ini yang penuh dengan berbagai macam krisis yang menghantui merupakan salah satu hal utama yang sudah seharusnya kita lakukan. Dengan menjaga kesejahteraan psikologis pada diri kita, sejatinya kita sedang menjaga kehidupan kita agar lebih baik kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H