Dunia sedang menyelami sebuah era dimana informasi menjadi bias tetapi penyebarannya sangat masif. Kelimpahan informasi menjadi sebuah bumerang ketika kita dihadapkan pada situasi seperti ini, sehingga membuat orang menjadi terlalu skeptis terhadap banyak hal. Era tersebut disebut dengan Post-Truth.
Post-truth dan Hoaks
Apa itu era post-truth? Ini adalah sebuah periode dimana emosi menjadi faktor penentu penilaian sebuah informasi dibandingkan dengan fakta-fakta yang tersedia di lapangan. Orang menjadi mudah percaya dengan perkataan yang penuh dengan emosi karena merasa memiliki suasana hati yang merepresentasikan mereka.Â
Bahkan di negara selain Indonesia pun, pernyataan penuh emosi ini lebih efektif menarik simpati dibandingkan fakta objektif yang tertera di lapangan. Kalau mengikuti pemilu di Uni Eropa, para partai beraliran populisme menggunakan cara ini untuk menarik simpati dan mendapatkan suara yang cukup banyak. Contohnya adalah Front National pimpinan Marine Le Pen.
Dengan demikian, ini mengaburkan penilaian kita terhadap sebuah atau beberapa informasi yang beredar, sehingga menjadi pemicu tersebarnya berita-berita yang kurang atau jauh dari fakta yang dikenal dengan nama hoaks. Definisi hoaks adalah kepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyamarkan kebenaran. Penyebaran berita ini bertujuan untuk memainkan emosi dari manusia dan ketika tujuan ini berhasil, orang yang merasa emosinya terangkat akan menyebarkan berita hoaks dan terciptanya distribusi jaringan hoaks.
Media sosial yang awalnya digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung menjadi media penyebaran berita. Survey yang dikeluarkan MASTEL pada tahun 2017 menemukan bahwa 92,8% hoaks berasal dari media sosial. Dalam survey yang dilakukan oleh Daily Social tahun 2018, Instagram, Facebook dan Whatsapp adalah platform media sosial yang sering digunakan untuk menerima informasi.Â
Hal ini menjadi lumbung yang sangat hangat bagi "oknum" untuk menyebarkan hoaks. Korban hoaks bisa siapa saja, masih ingat hoaks Ratna Sarumpaet yang heboh itu? Tidak sedikit yang terpancing dengan berita itu dan bahkan ada yang membenarkan berita tersebut tanpa proses verifikasi. Maksudnya disini adalah bahwa hoaks bisa mengenai siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Politik, Pemilihan Umum dan Hoaks
MASTEL melakukan survey tahun 2017 dan menemukan bahwa jenis hoaks sosial-politik dan SARA adalah dua bidang terbanyak dengan masing-masing sebesar 91,80% dan 88,60%. Kesimpulan yang penulis dapatkan ketika membaca data ini dan berdasarkan beberapa kejadian adalah bahwa masyarakat sangat mudah terbawa emosinya ketika menyikapi dua isu ini.Â
Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita bahwa ada tujuh kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos. Isu itu membuat heboh masyarakat dan persebaran beritanya pun cepat. Akan tetapi, poin pentingnya adalah bahwa berita ini menggambarkan betapa cepat masyarakat Indonesia terpancing sehingga isu ini cepat tersebar.
 Pemilihan umum semakin mendekat dan kemungkinan bahwa persebaran hoaks ini akan semakin besar. Apalagi, pada medio Agustus-Desember 2018, Kominfo menemukan adanya 62 konten hoaks terkait pemilu yang persebarannya melalui media sosial seperti facebook, whatsapp, instagram, dan twitter.Â