Indonesia memang tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan jika menyangkut masalah politik. Kemarin, kita disuguhkan dengan berita DPR vs KPK mengenai hak angket UU KPK, setelah tidak lama, kita disuguhkan kembali dengan berita tentang terbitnya peraturan tentang Ormas dan bagaimana pihak-pihak tertentu mencoba membawanya ke ranah hukum. Terlepas dari itu, kita semua harus bersyukur bahwa masyarakat kita selalu aware akan kondisi politik bangsa.
Kemudian, pada hari senin 21 Juli 2017, DPR mengesahkan UU Pemilu untuk 2019 nanti. Yang difokuskan pada UU ini adalah berlakunya ambang batas atau yang disebut Presidential Threshold untuk mengajukan calon presiden sebesar 20% dengan acuan hasil pemilu 2014 lalu. Dengan adanya UU pemilu ini maka kemungkinan Presidential Threshold sebesar 20%. Namun pertanyaannya perlukah pemilu Indonesia memasang ambang batas?
Pada 2013 lalu, Mahkamah konstitusi memutuskan bahwa ambang batas untuk mengajukan calon presiden adalah 0%. Dapat disimpulkan bahwa dengan ambang batas 0%, setiap partai berhak mengajukan calon presiden. Sekarang ini, banyak bermunculan partai-partai baru yang saya kira juga memiliki potensi untuk berbicara banyak pada pemilu nanti, diantaranya Partai Perindo dan Partai Idaman. Mereka dengan segala kemungkinan yang ada akan mencoba peluang untuk mengajukan calon-calonnya di pemilu nanti. Jika nanti, ambang batas 20% ini diberlakukan berarti mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengusung calon mereka sendiri kecuali dengan koalisi yang justru akan mempersempit peluang mereka untuk berkompetisi dalam pesta demokrasi Indonesia. Penerapan ambang batas 20% tentunya akan menjadikan PDIP sebagai partai prioritas untuk membuat koalisi jika setidaknya partai lain berambisi untuk berada di jajaran pemerintahan. Selain itu, penerapan ambang batas 20% akan membatasi pilihan rakyat untuk membuat pilihan, karena kemugkinan hanya akan ada dua pasangan calon yang akan berkompetisi nantinya dan membuat kesempatan pasangan lain yang memiliki potensi untuk menjadi presiden ataupun wapres tertutup.Â
Melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, menurut saya tidak perlu untuk menerapkan ambang batas 20% untuk pemilu presiden 2019 nanti. Saya melihatnya mungkin agak dipaksakan jika harus diterapkan pada pemilu 2019 nanti, terutama jika berpacu pada hasil pemilu 2014 merupakan sebuah kekonyolan jika hasil pemilu 2014 menjadi acuan. Saya kira keputusan MK untuk menerapkan ambang batas 0% sudah tepat karena membuka kesempatan yang sangat luas bagi partai-partai baru ataupun yang ingin maju secara independen untuk menikmati atmosfir pemilihan presiden nantinya. Pertimbangan-pertimbangan bahwa diperlakukannya presidential threshold sebesar 20% akan membuat koalisi yang berbasis ideologis harus dibantah, mengingat politik Indonesia adalah politik yang berbasiskan kepentingan semata dan bersifat oportunis. Selama ada kemungkinan untuk berkoalisi, mereka tidak akan melepaskan kesempatan itu.Â
Nb : Penulis merupakan mahasiswa HI UPN "Veteran" Jakarta. Kritik dan saran sangat diterima untuk perbaikan tulisan menjadi lebih baik ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H