Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Relikui Hari Kebangkitan Ke-111 dan Kemenangan 01 dengan Selisih 11%

21 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 22 Mei 2019   07:19 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa sudah lama tidak menuliskan apa yang saya pikirkan dan rasakan selama Pemilu tahun ini, khususnya melalui media sosial. Alasan paling kuat adalah tanggung jawab moral sebagai abdi Negara. Saya jadi ingat sudah tidak terhitung remasan tangan, tepukan di kening, decakan jengkel di bibir, hingga ketikan-ketikan jari yang (akhirnya) dibatalkan untuk di-publish selama masa kampanye hingga penghitungan suara pemilihan presiden dan wakil presiden ini. Sungguh "puasa birokrasi" ini membuat diri ini seperti Pai Su Cen (Siluman Ular Putih) yang terbelenggu di dalam pagoda Leifeng.

Belenggu itulah penyebab selama upacara hari kebangkitan Nasional Ke-111 di kantor  kemarin, pikiran saya melayang jauh menggapai tanggal 22 Mei 2019. Tanggal itu kramat dan banyat dicatat orang karena diperkirakan tanggal tersebut akan diumumkan kepastian hasil pesta demokrasi negeri dari lembaga resmi terkait. Saya tidak sabar ingin segera menerebos tanggal itu supaya dapat kembali berbicara terkait persepsi dan pandangan politik saya tanpa ada beban.

Siapa tidak menyangka, pengumuman itu lebih cepat. KPU secara resmi dan cerdas menetapkan hasil rekapitulasi suara yang meliputi 34 provinsi dan 130 wilayah luar negeri pada Selasa, 21 Mei 2019 sebelum ayam berkokok. Berdasarkan keputusan KPU, jumlah perolehan suara, Paslon nomor 1, Jokowi-Ma'ruf, mencapai 85.607.362 atau 55,50 persen suara, sedangkan perolehan suara, Paslon nomor 2,  Prabowo-Sandi, sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Selisih suara kedua calon presiden dan wakil presiden tersebut sebesar 16.957.123 atau 11 persen suara. Keputusan KPU nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 itu menjadi dasar saya sah lepas dari tanggung jawab moral untuk mengutarakan apa yang ada dalam benak saya terkait Pemilu.

Pertama saya mengucapkan selamat kepada Bapak Joko Widodo dan Bapak Maaruf Amin yang terpilih oleh rakyat Indonesia secara langsung sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2014. Saya bersyukur dan bergembira begitu rupa karena upaya mengurus dokumen agar tetap bisa memilih karena dinas serta doa telah terjawab tutas dan sesuai harapan (upsss ketahuan selama ini saya dukung 01 hehehe). Namun, tulisan saya ini tidak akan membahas habis program pemerintah ke depan atau mengelaborasi faktor-faktor kemenangan yang diperoleh paslon 01. Saya  mau membawa kita pada suatu fenomena repetisi angka yang terjadi. Coba perhatikan, semua serba satu, mulai angka 111 terkait hari kebangkitan nasional, angka 11 terkait selisih suara, hingga Sang Juara yang berkode 01.

Salah satu pendekatan dalam penelitan kualitatif adalah fenomenologi. Menurut Bartens (1981), fenomenologi membawa kita pada suatu analisis deskriptif serta introspeksi atas kedalam dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung. Bahkan Littlejohn (2002) menspesifikan ruang lingkup pendekatan ini menjadi berfokus pada pengalaman personal, termasuk bagaimana para individu mengalami satu sama lain. Fenomena angka di atas menurut saya bukan suatu kebetulan belaka. Senada  dengan pernyataan Albert Einstein yang menyatakan "Tuhan tidak bermain dadu".

Lantas dari fenomena angka "1" yang cukup banyak muncul tadi, saya menarik suatu simpulan pribadi. Saya akan merespons fenomena angka satu tersebut dengan tiga esensi utama dalam sumpah pemuda.

Pertama, mulai dari belakang, pada klausa "mengaku berbangsa yang satu". Saya yakin Sang Khalik sedang mengingatkan bangsa ini untuk kembali bersatu. Mari kita bersyukur atas anugerah-Nya yang terus tercurah sehingga Indonesia dapat berdiri teguh di tengah ekstrimnya kemajemukan negeri. Mari kita hentikan segala perbantahan dalam perbedaan pendapat terkait pilihan pemimpin apalagi perbedaan pendapat tersebut didasari dengan kebencian. Ingatlah akar hoax adalah kebencian itu sendiri. Bukankah kebencian mengakibatkan perselisihan merambat hingga pada  tingkat lembaga terkecil suatu Negara, keluarga.

Kedua, klausa "menjunjung bahasa persatuan".  Dalam konteks sumpah pemuda (1928) secara eksplisit mengarah kepada Bahasa Indonesia. Namun, saya membawa kita kepada konteks yang patut dijunjung sesuai kebutuhan dalam merespons kondisi saat ini. Pancasila adalah satu dan hanya satu-satunya ideologi yang disepakati bersama. Dalam Pemilu kali ini, Pancasila telah menunjukkan diri sebagai benteng pertahanan efektif terhadap bahaya laten perbagai ideologi lain dan perilaku "bayangan" segelintir oknum yang bertujuan merusak persatuan bangsa. Namun kita tidak boleh lengah, karena masih banyak yang perlu dibenahi. Maka tidak bisa ditawar lagi, Pancasila itu harga mati, dan layak untuk dijunjung tinggi sebagai satu-satunya tonggak pemersatu bangsa.

Ketiga, klausa "mengaku bertumpah darah yang satu". Kata "satu" mengingatkan kita untuk kembali berpadu dan sehati dalam memajukan kesejahteraan umum. Berjuang bersama dalam membangun bangsa, khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Ingatlah, Indonesia di tahun 2030 diprediksi mencapai puncak emas usia produktif hingga mencapai 70%-an. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini mencakup penguatan karakter, bagaimana merespon perubahan zaman dengan pendidikan dan berbagi pengalaman,  hingga pemahaman kebangsaan termasuk dalam berpolitik praktis.

Jadi siapa pun dan bagaimana proses atau upaya mendukung Capres dan Cawapres telah menjadi masa lalu. Saatnya kita bangkit dan berpegangan tangan bersama untuk menggapai satu masa depan bersama, yaitu Indonesia maju, adil, dan makmur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun