Tak bisa dipungkiri kebijakan negara adi daya, Amerika Serikat, memiliki pengaruh pada dunia, khusus dalam hal perekonomian. Bahkan hanya dengan statement awal saja, belum eksekusi, angka dan grafik dari kurs mata uang hingga indeks saham dunia mengalami pergerakan, dan tidak jarang gejolak. Trump memang begitu kontroversial, walaupun terkadang saya cukup salut dengan konsistensi dirinya untuk memenuhi janji-janji kampanyenya untuk "Make America Great Again".Â
Konsistensi ini ternyata berpengaruh positif dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, buktinya ,berupa penguatan dolar amerika, laju hijau indeks saham, hingga pengurangan pengangguran , walau kondisi ini tidak jarang berdampak kurang kondusif bagi negara lain.Â
China saja yang memiliki devisa terbesar di dunia mulai kalang-kabut menjaga stabilitas mata uang mereka, walaupun ada persepsi lain bahwa pelemahan mata uang Renminbi merupakan upaya mereka untuk tidak dikendalikan tarif impor, ekspor tetap lancar, sehingga devisa tetap kuat.
Nah, kali ini Indonesia diancam Trump. Tidak tanggung-tanggung, sekitar 124 produk dari berbagai sektor akan dikenakan tarif. Penyebabnya adalah defisit perdagangan antara AS dan Indonesia. Setiap ancaman merupakan tantangan sehingga wajar respon yang terjadi adalah resistensi. Resistensi akan membawa diri pada tindakan perlawanan, atau serangan balasan. Namun bagi saya, acaman Trump merupakan peluang.Â
Ancaman Trump menandakan Indonesia sudah dipandang sebagai negara yang membawa pengaruh signifikan dalam perekonomian Amerika Serikat. Artinya, Indonesia makin dikenal, dan saya yakin dijadikan bahan analisis/kajian oleh negara---negara lain. Peluang ini akan makin berdampak besar tergantung bagaimana negara ini meresponi dengan bijak.Â
Selain itu, ancaman trump sebenarnya adalah sarana evaluasi yang baik. Dari 124 produk yang akan dikeluarkan dari perlakukan khusus, ternyata banyak yang merupakan bahan mentah. Hal ini memandakan dominansi ekspor ke negeri Paman Sam adalah produk minim nilai tambah. Banyak negara berkembang terjebak dengan "quicksand balance". Tandanya adalah neraca perdagangan di dominasi bahan mentah sebagai produk ekspor, namun tergerus dengan barang impor yang telah memiliki nilai tambah berlipat-lipat.Â
Penguatan pengolahan bahan-bahan mentah melalui usaha (mikro) rumah, hingga optimalisasi smelter dalam sektor pertambangan, mungkin perlu menjadi perhatian kembali pemerintah. Reviu perjanjian perdagangan antar negara yang belum kondusif (lama) pun perlu direvisi agar meningkatkan daya saing produk lokal. Semoga ancaman Trump ini tidak perlu menjadi keresahan, bahkan dijadikan kesempatan negara ini untuk melangkah lebih mandiri dan maju lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H