[caption caption="Sumber Gambar: Setkab.go.id"][/caption]
Beberapa hari yang lalu, di hadapan wakil rakyat (DPR RI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI membacakan hasil pemeriksaanya terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016. Dan hasilnya sungguh membanggakan, LKPP diganjar opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) setelah 12 tahun bergumul untuk memperoleh tingkat kewajaran tertinggi tersebut. Posisi WTP ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan karena masih meninggalkan pemberian opini Tidak Memberikan Opini (TMP) pada 6 kementerian/lembaga (K/L), termasuk masih terdapat 8 K/L dalam opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). BPK menyatakan 14 K/L ini secara substansi tidak memengaruhi kewajaran dari LKPP.
Secara umum, mekanisme audit memiliki dua pengujian yang wajib dilakukan, yaitu pengujian sistem pengendalian intern dan pengujian substantif. Pengujian substansi sangat jarang dilakukan secara populasi, tetapi sampling. Faktor sampling inilah yang menyebabkan opini tersebut tidak dapat dijadikan ukuran apakah entitas tersebut telah bebas dari fraud/ korupsi. Pengujiaan fraud biasanya dapat dilakukan dengan metodologi lain, seperti audit investigatif (AI) atau audit forensik. Nah, yang menjadi menarik adalah masih adanya distorsi pada opini TMP/ disclaimer. Opini TMP ini seolah-olah cukup kuat dipersepsikan sebagai opini paling buruk (atau urutan terakhir secara kualitas dari keempat opini atas laporan keuangan).
Dalam buku terkenal rujukan mata kuliah auditing yang sejak zaman purba kala berwarna hijau, Arens memang mengurutkan opini tersebut, namun sepanjang pemahaman saya urutan tersebut tidak menggambarkan tingkat kualitas, melainkan hanya takrif. Menang jikalau merujuk takrif, kesesuaian perbandingan dapat dilakukan pada ketiga opini, yaitu WTP WDP, dan Tidak Wajar alias adverse (TW). Perbandingan atas ketiga opini tersebut dapat dilakukan kondisi auditor sudah masuk dan “mengutak-atik” entitas, sehingga secara kapabilitas auditor tersebut dapat memberikan opini/penilaian atas asersi manajemen berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Nah, beda dengan disclaimer tadi. Posisi dislaimer adalah posisi di mana auditor mungkin sudah masuk namun dibatas kewenangannya, atau mencoba “mengutak-atik” tapi standar belum ada, hingga ditolak mentah-mentah dalam melakukan penugasannya. Dan perlu diingat, keterbatasan SDM dan dana audit pun dapat mewajibkan auditor untuk tidak menyatakan pendapat.
Artinya, perbandingan antara ketiga opini (WTP, WDP, dan TW) dengan opini TMP (disclaimer) tidak dapat dilakukan, tidak apple to apple. Maka saya berpendapat, TMP bukan merupakan struktur opini dari auditor, melainkan hanya pemaparan kondisi auditor yang terbatas atau dibatasi melakukan audit atas LK. Oleh sebab itu, perlu kita pahami, pemberian TMP atas 6 L/K tadi tidak boleh dipersepsikan bawah L/K dimaksud dalam kondisi buruk/bobrok/ penuh dengan fraud karena auditor sendiri menarik diri untuk melakukan pengujian substansi karena keterbatasan yang melekat tadi. Hakikinya, keboborokan suatu entitas dapat lebih niscaya dinilai ketika BPK RI memberikan opini TW (adverse), bahkan opini ini dapat digunakan untuk melakukan audit lanjutan seperti AI atau dapat dilanjutkan dalam proses litigasi. Namun sampai sekarang sangat jarang laporan keuangan K/L termasuk Pemda diganjar opini ini, padahal banyak proyek-proyek besar yang bermasalah bahkan menjadi “arca” tak karuan. Bahkan tidak jarang sekarang pemerintah daerah kuhususnya lebih “senang” membangun “proyek-proyek mercusuar” demi pencitraan diri padahal sangat jelas di depan mata sarana pendididikan dan kesehatan dalam kondisi menyedihkan.
Oleh sebab itu, persepsi disclaimer adalah opini terburuk perlu dikaji ulang karena bisa saja secara akuntabilitas atas asersi manajemen dari L/K yang beropini TMP lebih baik dari yang WTP. Sama dengan halnya, tidak bisa kita mentesiskan kalau WTP pasti bebas fraud/penyimpangan, bukan?
Kondisi ini perlu menjadi perhatian peneliti-peneliti dalam dunia akuntansi/auditing, untuk mengkaji lebih dalam mengenai kondisi ini. Besar harapan saya, konsepsi opini atas laporan keuangan ke depan ini dapat berkembang atau bertransformasi karena sudah mulai kurang relevan dengan perubahan zaman, khususnya dalam perkembangan teori akuntabilitas, akuntansi, anggaran, kinerja hingga teknologi informasi. Semoga kelak ada yang dapat merumuskan suatu opini yang dapat men-capture secara komprehensif sekaligus memberikan rekomendasi yang bukan semata menilai tingkat kewajaran atas asersi manajemen. Opini yang membawa stakeholder untuk dapat meninjau kebijakannya apakah telah sejalan dengan visi Presiden yang telah ditetapkan serta terhindar dari fraud, termasuk penilaian segala sumber daya memang sejatinya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat secara akuntabel dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Jangan sampai opini-opini WTP yang dicapai hanya bersifat normatif dan pencitraan semata, apalagi saat ini ada bisik-bisik ganjaran opini WTP tersebut sedang “dimainkan” karena pengaruh politik. Semoga pendengaran saya salah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H