Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketika Tan “Akhirnya” Menangis Saat Ahok Menolak Banding

23 Mei 2017   14:39 Diperbarui: 23 Mei 2017   17:23 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber foto: antaranews.com"][/caption]

Hari ini saya melihat sorang wanita tegar yang selalu mendampingi Ahok menunjukkan sisi kemanusiaannya. Nuansa dingin cukup memenuhi setiap geraknya. Umumnya wanita banyak bicara, tapi sosok wanita perkasa ini lebih memilih banyak diam namun bekerja. Diamnya tak tergoyahkan bahkan banyak sentimen-sentimen negatif menyerang suami dan keluarganya. Diamnya menandakan bahwa kepeduliannya bukan pada banyak kata yang ditorehkan, melainkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama. Tapi diamnya yang begitu rupa itu akhirnya rontok saat membacakan tulisan sang suami yang sedang di penjara. Tulisan yang dibuat oleh Ahok dan keluarganya ketika dia memutuskan untuk batal banding. Saat saya menonton video dari Youtube dengan seksama. Saya memperhatikan raut wajah Veronika, sebelum membacakan surat itu. Saya menyaksikan Veronika memberikan jeda, dan dalam dugaan saya dia sedang menghimpun segala kendali dan kekuatan diri untuk tetap sama, tegar. Dia mendesak tubuhnya untuk bekerja sama atas kendalinya, dia pun refleks memicingkan matanya. Pertanda suatu desakan tinggi atas nuraninya untuk teguh mengendalikan segala perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Namun, aliran rasa makin deras menguasai logika ketika kata “Bapak” mulai dilontarkan. Kata panggilan umum, namun menjadi spesial dan bermakna karena melekat kuat kasih seorang isteri kepada suaminya. Hakikinya, posisi diri Verinoka tetap sama, yaitu seorang perempuan yang perlu dilindungi. Namun, sayang seribu naas, pendamping hidup dan pelindungnya kini telah memilih mendekam di penjara demi keamanan bangsa Grafik kesedihan dan pilu hatinya makin meninggi dan tampak jelas saat dia membacakan kalimat “saudara-saudara yang mendukung dalam doa”. Saya yakin dia merasakan asa yang sama dengan kekasih hatinya bahwa negara ini harus bebas diskriminasi. Saya yakin dia merasakan hal yang sama bahwa perjuangannya melawan korupsi dan tipu daya politik belum berakhir. Bahkan, saya menyaksikan dalam klimaks tangisnya hadir setelah mengucapkan kata “makanan” dalam satu rentetan pernyataan terima kasih Ahok atas bentuk-bentuk kasih nyata yang telah ditorehkan pendukungnya selama ini. Veronika telah bulat untuk mengikhlaskan penderitaan keluarganya sebagai jalan tengah kedamaian bangsa ini. Di sisi lain, dalam pandangan saya yang terbatas, Veronika saat itu, berada dalam himpitan rasa melampaui nalar bahwa dalam “ketegaan sejarah” bangsa ini masih ada rona-rona kasih yang hangat yang terus mengalir untuk menyejukkan kekecewaan dan menambal sakit hati yang telah terluka bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi anak-anak mereka. Dia dan suaminya tahu, mereka tidak berjuang sendiri. 

Saat dia menangis dalam satu waktu yang cukup lama, saya merasakan seolah-oleh waktu berhenti. Dalam masa menangisnya, saya menduga Veronika terus berteriak dalam hatinya, “Ayo kuat!”, “Berhenti menagis!”, atau mungkin “Aku harus menyelesaikan pesan ini!”. Tapi, tangisnya tidak berhenti seketika, terus mengalir dalam setiap kata-kata yang dibacakan. Hingga mungkin dalam kepekatan sedihnya, hati menyerukan doa yang tak terucapkan: “Tuhan tolong saya!”, “Tuhan Kuatkan saya!”. Maka tak heran, dalam posisi dialog batin ini, ada gerakan jujur dari tubuhnya, salah satunya ketika dirinya menyeka air matanya dengan tegas sambil menarik nafas.

Saya melihat, dia sedang berjuang untuk melawan haknya sebagai seorang wanita, karena ada satu tugas yangg diberikan dari pribadi yang dicinta. Saya merasakan kebesaran dan kemuliaan hati seorang isteri nyata dalam diri Veronika. Memang tepat ada ungkapan ini: “Dibalik pria yang mencetakkan sejarah, pasti ada isteri yang berhati mulia”. Dan saya menyaksikan kesetiaan isteri kepada suaminya bahkan dalam duka. Dia memilih taat menjalankan amanat dan percaya atas keputusan suaminya. Buktinya, dia tuntas membacakan pesan itu hingga akhir.
Ibu Veronika, I Love you!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun