Indonesia berbentuk negara (republik) kesatuan. Artinya, Presiden sebagai kepala negara dan pemmerintah merupakan pusat visi dan aksi dari keberlangsungan pemerintahan ini. Kondisi ini mendorong segala program pemerintah, baik pusat maupun daerah harus selaras dengan visi Presiden yang tertuang dalam RPJMN sebagaimana diformalkan melalui Perpres Nomor 2 Tahun 2014. Posisi ini juga menegaskan kepala daerah merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam membangun bangsa. Tapi fakta berkata lain, sudah rahasia umum jikalau kepala-kepala daerah nyaman dengan status “raja-raja kecil”. Raja yang mengatur daerahnya sesuai dengan visi sendiri, bahkan kepentingan sendiri. Buktinya, tidak sedikit kebijakan pembangunan daerah yang tertuang dengan RPJMD tidak selaras dengan RPJMN atau visi Presiden. Dalil lamanya adalah mereka merasa dipilih langsung juga oleh rakyat. Bukan itu saja, tidak sedikit kepala daerah yang berani melawan pemerintah pusat, dan makin lucunya pemerintah pusat agak hati-hati menegur kepala daerah yang “nakal” tersebut. Dalil lama kedua adalah otonomi daerah. Bukti lapangannya, masih ada ibu kota provinsi yang belum memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, padahal secara jelas visi pembangunan nasional yang mengedepankan pembagunan manusia. Hal ini tidak boleh dibiarkan!
Pemerintah pusat harus mulai tegas. Solusi kekinian dengan menambahkan wewenang Presiden untuk memecat kepala daerah dalam revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu solusi yang tepat. Pasal 79 menegaskan bahwa, tanpa melalui pengajuan dari DPRD, Presiden dapat memecat Gubenur dan/atau wakilnya selaku wakil pemerintah pusat atas usul menteri. Sedangkan, Kepala Daerah dan/atau wakilnya Tingkat II dapat dipecat oleh menteri. Sanksi ini dapat diberikan berdasarkan inisiatif pemerintah pusat dengan tetap meminta pertimbangan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Selain itu, mekanisme teguran dan pembinaan untuk kepada daerah sudah diakomodasi dalam undang-undang ini. Dan tanggal 5 April 2017, turunan undang-undang ini telah diterbitkan berupa, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Nah, tinggal Pemerintah Pusat yang menegakkan aturan main ini. Salah satu bagiannya adalah mengoptimalkan pengawasan baik melalui inspektorat jenderal di kementerian teknis maupun melalui aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) yang berwenang untuk melakukan pengawasan lintas sektoral, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). PP ini secara lugas APIP memberikan mandat untuk mengawasi sejak perencanaan, termasuk pemantauan atas program stategis di daerah. Artinya, pintu masuk untuk melakukan audit atas keselarasan (link-match audit) RPJMN dan RPJMD menjadi kebutuhan. Untuk audit jenis ini, saya rasa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan lebih luas lagi dan mulai fokus dalam hal ini sesuai dengan kewenangannya. Jikalau sinergi kebijakan pembangunan pemerintah pusat dan daerah telah berjalan, saya yakin akselerasi pembangunan negeri akan optimal. Sudah saatnya UU Pemerintah Daerah dan turunnya tadi ditegakkan demi meluruskan negara kesatuan ini agar tidak semakin berasa serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H