Dalam pembukaan Rapat Kerja (Raker) Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2018 pada 31 Januari 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menelusuri produk-produk yang dijual pada situs jual-beli daring (online). Dengan tegas Presiden Jokowi meminta untuk mulai memeriksa barang yang dijual di toko-toko daring. Hal ini untuk mengetahui apakah mayoritas barang yang dijual itu merupakan barang-barang yang diproduksi dalam negeri atau justru impor. Pemerintah ingin agar pebisnis dagang elektronik (e-commerce) dalam negeri bisa mengutamakan produk lokal.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu di kesempatan terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga pernah menyampaikan bahwa produk-produk di perdagangan daring masih sangat didominasi produk impor. Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, keseluruhan produk yang dijual di pasar daring dalam negeri hanya 6-7 persen yang merupakan kontribusi produk lokal. Sementara itu, seorang pejabat di Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga menyampaikan data kepada media massa bahwa hanya 10 persen produk-produk makanan via dagang elektronik (dagang-el) merupakan buatan Indonesia, atau berarti 90 persen merupakan produk impor.
Transaksi belanja daring saat ini sudah sampai mendekati angka seratus triliun rupiah. Memang belum ada data pasti tentang angka tersebut, mengingat pendataannya saat ini baru akan dilakukan secara konkret oleh Pemerintah. Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo pernah menyampaikan bahwa selama sekitar setahun terakhir (kurun antara 2016 hingga 2017) transaksi belanja secara daring diproyeksi telah mencapai Rp 75 triliun di Indonesia. Tingginya proyeksi angka ini juga membuat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) bahkan berani memproyeksikan bahwa nilai transaksi dagang-elektronik di Indonesia bisa melampaui 130 miliar dollar AS atau Rp 1.755 triliun (kurs Rp 13.500) di tahun 2020.
Dengan melihat potensi besar dari transaksi dagang-el di Indonesia, sebenarnya merupakan peluang yang sangat besar untuk bisa mengangkat perekonomian masyarakat, khususnya lewat penjualan produk-produk buatan lokal. Yang menarik, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan representasi ekonomi rakyat, memberikan kontribusi sebesar 58 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Mencermati alasan-alasan yang mengemuka terkait dominasi produk impor di dagang-el Indonesia saat ini, sejumlah faktor-faktor yang disebutkan menjadi pemicu dominasi tersebut di antaranya adalah harga yang lebih murah dibanding produk lokal, kemudian produsen dalam negeri belum bisa memenuhi keperluan semua barang seperti aksesoris dawai (gadget). Alasan lainnya, masih ada sejumlah kecil konsumen yang beranggapan menggunakan produk luar negeri jauh lebih bergengsi dibandingkan produk lokal.
Menariknya, nilai investasi asing berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ke sejumlah perusahaan dagang-el dalam negeri sepanjang tahun 2017 telah mencapai 4,8 miliar dollar AS atau setara dengan dengan Rp 64,32 triliun (kurs Rp 13.400 per dollar AS). Besarnya daya tarik pasar dagang-el di Indonesia juga salah satunya bisa dilihat dari belanja iklan para pemain bisnis dagang-el. Catatan Riset Iklan Adstensity, nilai belanja iklan industri ini di televisi saja mencapai Rp 1,54 triliun pada tahun 2017 dan belum termasuk di media berita cetak, media berita daring dan media sosial.
Dengan melihat masih sangat minimnya pejualan produk-produk lokal di dagang-el dalam negeri, maka perlu dilakukan beberapa hal untuk bisa mendukung produk lokal. Pertama,Pemerintah bisa segera mengeluarkan peraturan yang mendorong penjualan produk lokal minimal sekitar 70-80 persen di penjualan via dagang-el. Untuk sektor ritel luring (offline), sudah ada ketentuan yang mewajibkan peritel menjual produk dalam negeri, yakni sebanyak 80 persen dari total produk yang ditawarkan. Ketentuan ini telah berlaku sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Â Â
Kedua, Pemerintah bisa segera mengeluarkan ketentuan pajak yang rendah untuk UMKM sebesar 0,5 persen. Khusus dalam hal dagang-el domestik, pemerintah berencana akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk pebisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen dari omzet. Saat ini, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 menyebutkan bahwa pengusaha kecil dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun PPh-nya dikenakan dengan tarif 1 persen.
Ketiga, Pemerintah perlu menggandeng pebisnis dagang-el lokal untuk tetap gencar melakukan pembinaan sekaligus kemitraan dengan UMKM. Hal ini penting agar para pebisnis dagang-el tersebut tidak terkesan hanya sebagai perantara (trader) yang menjual produk dari luar negeri. Apalagi sejumlah pebisnis besar dagang-el lokal mendapatkan suntikan dana dari investor-investor asing. Pemerintah dan pebisnis dagang-el lokal bisa menyampaikan produk-produk lokal apa yang perlu ditingkatkan secara kualitas, maupun juga cara-cara untuk menekan harga produk lokal sehingga bisa bersaing dengan produk impor.
Keempat, Pemerintah dan pebisnis dagang-el lokal juga mesti terus gencar mengangkat kampanye untuk mencintai produk lokal dalam konteks kekinian. Tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengusung kampanye "Cinta Indonesia" yang pada saat itu disertai peluncuran logo "100% Cinta Indonesia". Segala perusahaan, produk, dan merek dalam negeri bisa secara bebas untuk mencantumkan logo tersebut pada kemasan produk, iklan dan / atau materi promosi.
Kita tentu masih mengingat adanya iklan televisi dari produk milik seorang pengusaha lokal yang juga menjadi bintang iklan produknya itu, Alim Markus dengan kata-kata "Cintailah produk-produk Indonesia " yang dengan pelafalan yang khas dengan bunyi huruf "R" yang terdengar seperti huruf "L". Iklan tersebut sangat kuat "menempel" di memori pemirsa televisi yang menontonnya.