Mohon tunggu...
Ridho Ilahi
Ridho Ilahi Mohon Tunggu... Penulis - Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik (BPS)

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kunci Stabilitas di Semenanjung Korea

14 September 2024   20:14 Diperbarui: 14 September 2024   20:15 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembagian Semenanjung Korea menjadi dua negara terpisah pada tahun 1948 diabadikan oleh Perang Korea 1950-1953. Terlepas dari permusuhan dan kesenjangan yang besar, keduanya masih menyimpan mimpi untuk menyatukan kembali semenanjung ini menjadi satu negara Korea. Namun, sebelum duduk bersama memetakan masa depan, kedua Korea harus mengatasi rintangan yang paling sulit, yaitu program nuklir Korea Utara.

Program nuklir Korea Utara ini bisa ditelusuri kembali melalui Perang Korea. Korea Utara memulai perang pada tanggal 25 Juni 1950 dengan menyerang Korea Selatan dalam upaya untuk menyatukan bangsa secara paksa. Setelah intervensi PBB dan China, perang mencapai jalan buntu, dan kedua belah pihak yang bertikai menandatangani gencatan senjata pada tanggal 27 Juli 1953. Secara teknis, perang belum secara resmi berakhir karena tidak ada perjanjian damai yang ditandatangani. Dalam konteks ini, Korea Utara mulai bermain-main dengan ide untuk mengembangkan senjata nuklir untuk melawan Amerika Serikat dan Korea Selatan yang bersenjata nuklir.

Pada awal 1960-an, Korea Utara dilaporkan meminta bantuan dari Uni Soviet dan China untuk memulai program nuklir, tetapi ditolak. Namun, para insinyur Soviet membantu membangun Pusat Penelitian Ilmiah Nuklir Yongbyon, yang mulai beroperasi pada tahun 1965. Selama pemerintahan Kim Jong-il (1994-2011), Korea Utara menerapkan kebijakan songun (mengutamakan militer) melalui peningkatan sumber daya yang dikhususkan untuk program nuklir.

Saat Amerika Serikat (AS) menghadapi Korea Utara pada awal tahun 1990-an akhirnya tercapai kesepakatan denuklirisasi. Korea Utara sepakat menghentikan program nuklirnya dan Amerika Serikat sepakat memberikan dua reaktor nuklir ringan kepada Korea Utara. Akan tetapi, kedua belah pihak melanggar kesepakatan tersebut. Korea Utara bersikeras mempertahankan program nuklir secara sembunyi-sembunyi, sedangkan Kongres Amerika Serikat tidak mengalokasikan anggaran untuk membangun dua reaktor tersebut.

Dalam konstitusi yang diamandemen pada tahun 2012, Korea Utara memproklamirkan diri sebagai negara nuklir. Kebijakan pembangunan ekonomi dan militer secara paralel tampaknya berhasil. Meskipun ada sanksi berat dari PBB, Korea Utara tidak hanya bertahan tetapi juga mengalami pertumbuhan moderat dalam beberapa tahun terakhir. Kelaparan berskala besar yang melanda negara ini pada tahun 1990-an telah berlalu. Korea Utara juga telah membangun lebih dari selusin zona pengembangan ekonomi, termasuk zona di Pyongyang yang didirikan pada akhir 2017.

Keamanan di semenanjung Korea telah memasuki lingkaran setan. Amerika Serikat bersikeras bahwa Korea Utara harus menyerahkan program nuklirnya sebelum kedua belah pihak berunding. Pandangan yang saling bertentangan ini mencerminkan kurangnya konsensus bahkan di dalam pemerintahan AS tentang bagaimana menghadapi Korea Utara. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga kunci mencapai stabilitas di Semenanjung Korea, yaitu: (1) kebijakan berbasis sanksi; (2) aksi militer; dan (3) perundingan.

1. Kebijakan Berbasis Sanksi

Sanksi terhadap Korea Utara pertama kali diterapkan pada awal tahun 2000-an, ketika negara tersebut secara aktif mengembangkan senjata nuklir. Sanksi-sanksi tersebut mencakup larangan ekspor, pembatasan akses terhadap pasar keuangan global, serta blokade terhadap sektor-sektor vital seperti perbankan dan energi.

Tujuan utama kebijakan ini mengisolasi Korea Utara secara ekonomi dan diplomatik, dengan harapan rezim Kim Jong-un merasa tertekan dan meninggalkan program nuklirnya. Sanksi ini juga membatasi kemampuan Korea Utara dalam mengakses teknologi dan bahan-bahan yang diperlukan untuk mengembangkan senjata nuklir.

Meskipun sanksi telah diterapkan selama lebih dari satu dekade, hasil yang dicapai masih jauh dari harapan. Korea Utara terus mengembangkan nuklir dan memperkuat kemampuan militernya, sementara retorika agresif dari Pyongyang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Sanksi sering kali berdampak signifikan pada rakyat biasa ketimbang elit penguasa. Pembatasan akses terhadap makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar justru memperburuk kondisi kemanusiaan di Korea Utara. Parahnya, China tidak sepenuhnya menerapkan sanksi yang diberlakukan oleh PBB. Sebagai mitra dagang utama Korea Utara, China memiliki kepentingan geopolitik di Semenanjung Korea dan enggan menekan Pyongyang demi menjaga stabilitas di wilayah perbatasan.

Menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS), sanksi ini berdampak signifikan terhadap ekonomi Korea Utara, tetapi belum berhasil menghentikan ambisi nuklir negara tersebut. Sebaliknya, Korea Utara telah mengadopsi strategi untuk menghindari sanksi melalui berbagai metode, termasuk perdagangan ilegal dan dukungan dari negara-negara seperti China dan Rusia.

2. Aksi Militer

Pendekatan aksi militer terhadap Korea Utara melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk menghentikan, merusak, atau menghancurkan infrastruktur nuklir negara tersebut. Aksi ini mencakup serangan udara yang terarah ke fasilitas nuklir, rudal balistik, dan pusat komando militer, atau bahkan operasi darat dalam skenario konflik yang lebih besar. Pencetus aksi militer berpendapat ini satu-satunya cara untuk mengakhiri ancaman nuklir Korea Utara secara langsung.

Meskipun secara teori tampak menjanjikan, aksi militer terhadap Korea Utara punya risiko besar. Korea Utara punya kekuatan militer terbesar di dunia, dengan 1,2 juta personel tentara aktif dan jutaan cadangan. Negara ini punya persenjataan konvensional yang cukup kuat, termasuk artileri berat yang mampu menyerang Seoul.

Dampak kemanusiaan konflik militer di Semenanjung Korea bisa menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar, terutama di Korea Selatan. Sebagai pusat populasi dan ekonomi utama, Seoul sangat rentan terhadap serangan Korea Utara. Serangan artileri dalam beberapa menit saja bisa menewaskan puluhan ribu hingga ratusan ribu orang. Parahnya, Korea Utara juga memiliki senjata pemusnah massal berupa senjata kimia dan biologis. Risiko eskalasi tak terkontrol dalam konflik bisa memicu serangan balasan yang berdampak terhadap bencana kemanusiaan.

Potensi keterlibatan negara-negara lain terhadap Korea Utara juga tak bisa terelakkan dari konteks geopolitik yang lebih luas. Jutaan warga Korea Utara dan Korea Selatan terpaksa mengungsi akibat konflik dan menjadi beban besar bagi negara-negara tetangga seperti China dan Jepang. Dampak jangka panjang kehancuran infrastruktur sipil dan ekonomi juga mempengaruhi stabilitas kawasan selama bertahun-tahun. Aksi militer yang semula dimaksudkan untuk mengatasi ancaman nuklir justru menciptakan krisis kemanusiaan dan sosial yang jauh lebih besar dan sulit teratasi.

 

3. Perundingan

Pendekatan perundingan sebagai jalan damai dan efektif dalam menangani ancaman nuklir Korea Utara. Meskipun sejarah perundingan dengan Pyongyang mengalami kebuntuan dan kegagalan, keterlibatan langsung dan dialog lebih produktif dibandingkan sanksi atau aksi militer. Perundingan memberikan ruang penyelesaian yang fleksibel dengan membangun konsensus dan kesepakatan yang saling menguntungkan.

Upaya perundingan "Six-Party Talks" yang dimulai pada 2003 telah melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat. Dialog ini bertujuan mencapai denuklirisasi di Semenanjung Korea melalui negosiasi multilateral. Namun, dialog ini pun gagal pada 2009 ketika Korea Utara menarik diri dan melanjutkan pengembangan senjata nuklirnya.

Perundingan memungkinkan dialog dan keterlibatan langsung antara pihak-pihak yang berseteru. Pihak-pihak terkait dapat saling memahami posisi masing-masing dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Meskipun menawarkan banyak manfaat, perundingan ini punya tantangan. Korea Utara punya sejarah menggunakan perundingan demi memperoleh konsesi sementara, tetapi tetap melanjutkan program nuklirnya begitu sanksi atau tekanan mulai berkurang. Kepercayaan terhadap niat baik Pyongyang merupakan tantangan utama dalam perundingan diplomatik. Negara-negara lain perlu memastikan bahwa kesepakatan yang dicapai dilengkapi dengan mekanisme pemantauan dan verifikasi yang ketat guna mencegah Korea Utara melanggar komitmennya.

Promosi pertukaran budaya dan bergabungnya Korea Utara dalam komunitas internasional merupakan pendekatan yang ideal dalam penyelesaian konflik. Pada tahun 2008, Orkestra Philharmonic New York melakukan kunjungan bersejarah ke Pyongyang dan tampil di hadapan penonton yang sopan dan antusias. Ketika “The Star-Spangled Banner” dimainkan, seluruh penonton Korea Utara terpesona sambil berdiri dan menunjukkan rasa hormat kepada Amerika. Tidak hanya itu, kedua Korea pernah berbaris bersama di bawah satu bendera dalam acara olahraga internasional seperti Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney, Australia, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan. “Perang menciptakan negara, dan negara menciptakan perang,” tegas sosiolog politik Charles Tilly. Dengan cara yang sama, negara menciptakan perdamaian, dan perdamaian menciptakan negara baru di Korea Utara. Perdamaian dapat dicapai dan berkelanjutan di semenanjung Korea berkat upaya bersama dari semua pihak terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun