Mohon tunggu...
Rizky Ridho Pratomo
Rizky Ridho Pratomo Mohon Tunggu... Relawan - Menulis untuk mengeskpresikan apa yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata

Seorang overthinking yang membangkitkan kembali hasrat menulis untuk diri sendiri dan orang lain, bukan karena pekerjaan maupun tuntutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mari Menormalisasi Bicara Perasaan dan Kabar

24 Februari 2024   19:46 Diperbarui: 24 Februari 2024   19:58 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Thomas Friedman, dalam bukunya yang berjudul Thank You for Being Late, mengatakan bahwa masalah generasi sekarang adalah isolasi. Awalnya saya pikir dia akan mengatakan perubahan iklim. Setelah saya melihat fenomena dan data-data yang ada, apa yang diungkapkan oleh Friedman memang benar adanya.

Salah satu buktinya adalah keputusan WHO menetapkan kesepian sebagai concern utama mereka. Bukan lagi sebagai concern, tetapi sebagai ancaman global. WHO merespon dengan membentuk Komisi Khusus untuk Hubungan Sosial supaya mengatasi ancaman ini.

Mungkin awalnya, saya melihat respon WHO terlalu berlebihan. Mengapa masalah kesepian harus direspon dengan membentuk tim? Namun, data-data yang ada mendukung sikap yang diambil WHO. Survei dari Gallup 2023 menemukan, 24% orang di dunia merasa kesepian. Kalau kita kerucutkan di Indonesia saja, laporan dari The Global State of Social Connections di tahun 2023 menemukan bahwa ada 11% masyarakat Indonesia yang tidak merasa terhubung dengan orang lain. Sementara 10% lainnya kurang merasa terhubung.

Riset lain dari penelitian tim Health Collaborative Center (HCC) menemukan bahwa 44% warga Jabodetabek merasa kesepian dalam tingkat sedang, sedangkan 6% lainnya kesepian derajat berat. Itu artinya, ada setengah populasi yang merasa kesepian.

Pertanyaannya adalah kenapa bisa terjadi?

Kenapa Bisa Terjadi?

Saya mungkin termasuk orang yang beruntung karena punya teman yang bisa diajak cerita. Namun, mungkin ada orang di luar sana yang belum seberuntung saya. Mereka mungkin sedang mencari sosok yang kerap menanyakan kabar dan perasaannya. Saat mengetahui ada banyak orang yang kesepian, saya kaget dan sedih mendengarnya.

Saya mungkin menyalahkan pandemi karena membuat banyak orang kesepian. Pandemi memutus human connection secara nyata dan kita dipaksa untuk beralih menggunakan teknologi. Kita patut berterima kasih kepada teknologi. Teknologi membantu kita untuk mempertahankan rasa terkoneksi kita dengan orang yang kita sayangi.

Alhasil, durasi masyarakat berada di dunia online cukup lama. Terakhir, data dari We Are Social 2024, lebih dari 7 jam kita berada di internet dan lebih dari 3 jam masyarakat berada di media sosial. Tiga alasan mengapa kita cukup lama di dunia digital adalah mencari informasi, mencari ide baru, dan tetap terkoneksi dengan keluarga dan teman.  

Hanya berjarak satu klik saja, kita sudah bisa melakukan banyak hal. Satu klik membuat kita terkoneksi dengan dunia dengan segala isinya. Namun, ketika memikirkannya dalam bingkai hubungan manusia, setelah saya refleksikan, jarak satu klik ini hanya janji semu. Ternyata jarak satu klik itu berlaku dua arah, bukan satu arah. Ketika ujung lainnya tidak merespon, apa yang saya ceritakan hanya terekam di memori handphone.

Yang saya notice adalah, sekarang jarang terdengar orang menanyakan "Bagaimana kabar dan perasaanmu?" Urgensi pertanyaan ini berubah dari "ingin mengetahui perasaan orang lain" menjadi sekadar basa-basi semata. Untuk orang yang baru dikenal, itu wajar. Tetapi, untuk orang yang kita kenal dekat, itu tidak wajar. Sekarang, menanyakan perasaan dan kabar hanya untuk berbasa-basi.

Mungkin itu sebabnya mengapa banyak orang kesepian. Kalaupun ada pendapat bahwa semakin dewasa, kesepian adalah bagian dari hidup, saya tidak sepenuhnya sepakat. Semua orang seharusnya tidak merasa kesepian. Semua orang harusnya bisa lebih mengungkapkan perasaannya, setidaknya pada orang terdekat. Karena bicara perasaan adalah wajib bagi setiap manusia.

Apa yang Bisa Dilakukan

Saya menyadari bahwa di dunia sekarang, saya perlu lebih menunjukkan kasih sayang. Saya tidak tahu siapa yang butuh bantuan saya, siapa yang mungkin sedang tidak baik-baik saja, at least, saya mencurahkan kasih sayang dan cinta.

Apakah itu sulit? Tergantung pengalaman setiap orang, itu bisa sulit. Ada yang mungkin terus-terusan memberikan cinta dan kasih sayang, tetapi orang tidak merespon dengan baik. Saya yakin ada beragam pengalaman. Namun, pelan-pelan, menormalisasi bicara perasaan dan kabar menjadi awal mencegah ancaman kesepian yang ada di sekeliling kita.

Kalaupun ada yang curhat, sebisa mungkin saya mendengarkan dengan baik dan tanpa prasangka. Mungkin mereka lagi membutuhkan pendengar. Itu kadang sulit, saya akui itu. Namun, bisa jadi perasaan mereka jadi lebih baik setelah bercerita. Sadar atau tidak, kita membutuhkan orang untuk menjadi pendengar setia perasaan kita.

Tidak semua orang akan terbuka ketika menanyakan kabar dan perasaan. Tetapi, menanyakan kabar dan perasaan harus dinormalisasi. Terlepas beragamnya jawaban yang diterima, pertanyaan "Bagaimana perasaan kamu hari ini?" menunjukkan kepedulian dan cinta kasih sesama manusia.

Jadi, mari normalisasi bicara perasaan dan kabar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun