Mohon tunggu...
Ridho Brilliantoro
Ridho Brilliantoro Mohon Tunggu... wiraswasta -

Student of Life, Indonesian Words Composer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat Lama

1 Januari 2013   00:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:43 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjelang senja memang waktu yang disukai bagi banyak orang untuk bersantai, menikmati suasana kehidupan di sisa hari. Kenikmatan ini tidak hanya bagi mereka, akupun sama. Menjelang senja, aku seringkali menghabiskan waktu untuk bermain-main dengan dunia kegemaran, menggambar dan sesekali merangkai bait kata menjadi cerita tentang apa saja. Ini kegemaranku sejak kecil, sejak aku mengenal dirinya, sosok yang kusebut sahabat pada masa itu. Sahabat yang saat ini benar-benar kurindu, tanpa pernah kutahu sebait kabarpun darinya kini. Dan sore ini, secara tak sengaja aku ingin sekali menuliskan cerita tentangnya, yang kemudian ku kirim entah kemana. Ke entah berantah!

***

Halo, apa kabar? aku sahabat lamamu. Apa kau masih ingat? Ku harap begitu. Sudah lebih dari sepuluh tahun kita tak berjumpa. Hitungan hari yang sangat panjang, namun terasa begitu cepat. Langkah demi langkah episode kehidupan telah kulalui tanpa bercerita denganmu. Jujur, telah lama aku menyimpan kerinduan ini. Rindu yang diam-diam masuk ke ruang kosong di sudut hatiku. Rindu yang lama kelamaan membuat sesak.

Dulu, selain sekolah, kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, tanpa beban, tanpa harus berfikir kompleks tentang kehidupan, menikmati masanya.  Berbincang santai tentang super hero kebanggaan. Santai sekali. Dulu, tak jarang aku berkunjung kerumahmu, begitu juga sebaliknya. Ayah dan ibumu sangat baik. Mereka sudah kuanggap orang tua keduaku. Pendukung terhebat untuk urusan bermain kita. Di lain pihak, ayah dan ibuku adalah pahlawan untuk urusan belajar kita. Setuju? Bahagia sekali bukan?

Halo Zan? Ya, seingatku, namamu Mizan. Lengkapnya, Muhammad Mizan Aditya. Nama ter-modern dimasa itu. Aku masih ingat namamu. Tapi, kalau kau? Apa masih ingat namaku? Raut wajah mungilku? Kaos oblong biru muda yang menjadi baju favoritku sepanjang minggu? Atau sepeda pertamaku, sepeda warna ungu yang sering kali menemani petualangan kita. Seharusnya kau masih ingat Zan. Kita sahabat sejati bukan?

Oiya Zan, apa kau sadar? Terkadang aku merasa terlalu sering masuk ke dalam duniamu. Ikut dalam rangkaian episode masa kecilmu, masa kecil kita. Bermain segala macam hobimu yang jarang sekali aku suka. Sepak bola, tamiya, robot-robotan ataupun bermain Mario Bross di video games nintendo yang populer pada masa itu. Ah, tidak kah sekali-kali kau yang masuk dalam hobiku? Menggambar ataupun melukis. Walau ku tahu tak kan bisa memaksamu. Kau hanya jadi pengamat beberapa karyaku dan tak jarang cuma bilang “Ihhh, masih jelek nih!” atau berkomentar datar “Hmmm…biasa aja”. Menyebalkan, sekaligus membakar motivasiku.

Kita terlalu banyak berbeda Zan. Ya, kita berbeda. Kau selalu serius dengan pelajaran matematika dan IPA. Alhasil, kau menjadi langganan 3 besar di sekolah. Sementara aku, biasa-biasa saja, standar. Aku hanya punya semangat bergejolak  saat pelajaran seni rupa tiba. Sementara kau sepertinya ingin lari dari pelajaran itu karena tanganmu kaku menggambar. Orang tua kita pun seakan tertukar ya Zan. Ayah dan ibuku justru sangat antusias padamu karena selalu menjadi bintang sekolah, sementara orang tuamu adalah pasangan paling serasi yang sering kali menyemangatiku untuk terus menggambar dan melukis, berkarya. Apa ini yang namanya keadilan? Ah, sepertinya tidak! Tuhan sudah sangat adil dengan kasih sayang-Nya dalam hidup kita.

Meski seakan tertukar begitu, orang tua kita sama-sama mencurahkan kasih sayang nan tulus untuk kita, anak-anaknya. Mendukung penuh dan mengarahkan minat bakat kita. Memberikan ruang untuk kita tumbuh menikmati masanya dan selalu mengajarkan makna tanggung jawab atas hal-hal sederhana yang kita hadapi sehari-hari. Mungkin ini salah satu hal yang membuat kita sama, tidak berbeda. Sama-sama merasakan kehangatan keluarga yang luar biasa, yang menjadikan kita tumbuh selayaknya. Apa kau masih ingat? Harus ingat Zan. Karena aku yakin, hingga dewasa ini, meski zaman globalisasi sekalipun, kita masih bisa merasakan kehangatan keluarga. Bahagia sekali.

Surat ini memang bercerita banyak tentang masa kecil kita. Proses tumbuh manusia dari masa ke masa yang akhirnya menjadi pondasi mental hingga kita menginjak usia dewasa seperti sekarang ini. Dulu, kita hobi berdiskusi tentang masa depan, tentang cita-cita. Kau yang mengidolakan Pak Habibie bercita-cita ingin menjadi bagian tak terpisahkan dari karyanya. Pilot. Merasakan sensasi keindahan langit dan awan sebagai temanmu bermain-main saat mengendalikan pesawat. Mimpi yang benar-benar tinggi, selangit. Cerita tentang cita-cita itu kita akhiri dengan menuliskannya pada lembaran-lembaran kertas, lalu dengan bangga memajangnya di kamar. Ini seru! Cara alami anak-anak tingkat sekolah dasar mengapresiasikan cita-citanya. Aku ingat saat kau menggambar pesawat dan awan-awanan itu, lumayan jelek. Hahahaaa. Tapi itu alami, sesuatu yang sangat jarang sekali ditemui anak seumuran kita dulu, di masa sekarang ini. Maklum, era millennium sekarang, seakan menuntut banyak hal menjadi ada karena rekayasa, dewasa sebelum waktunya. Dan sekarang, aku yakin kau akan mewujudkan mimpimu itu. Kau adalah pejuang ulung yang tak kenal kata menyerah. Aku adalah pengamat setiamu. Sejak kita duduk di sekolah dasar kau selalu serius dan berusaha terbaik dalam belajar. Jadi aku yakin, kau pasti sedang berjuang keras meraih mimpi itu.

Soal mimpi, tentu aku juga tidak mau kalah denganmu. Dari dulu, mimpiku adalah menjadi seorang desainer. Mimpi yang kuciptakan atas dasar passion diri sendiri. Terlihat egois, tapi aku senang. Jalan meraih mimpi ini juga bukan dengan santai-santai saja kulewati Zan. Bahkan, perjuangan berdiplomasi dengan kedua orang tuaku menjadi hal yang paling menantang. Kau kan tahu sendiri, Ayah Ibuku sangat senang bila anaknya jago ilmu pengetahuan alam. Aku hampir putus harapan. Tapi dengan do’a dan usahaku berdiplomasi, memberikan pemahaman penuh kehati-hatian dan menggelar diskusi terbuka bersama mereka, akhirnya orang tuaku meridhoi mimpi ini. Senang sekali rasanya. Langkahku menuju impian itu terasa ringan dengan ridho orang tua.

***

Sore itu, aku baru saja menyelesaikan tugas kuliah. Sesaat sebelum aku melanjutkan cerita tentang kita ini, Ibu menghampiriku, membawa sebuah undangan berwarna hijau daun dengan aksen bunga keemasan. Desainnya sederhana, namun terkesan menarik, elegan dan futuristik. Sambil menyerahkan undangan itu, Ibu berkata santai “Ini yang kamu tunggu? Kapan nyusul?” seakan urusan ini adalah tentang lomba balap karung. Aku menerima undangan itu dan langsung melihat halaman depannya. Dan ternyata, itu adalah undangan pernikahan dari sahabat lama, Mizan. Aku gugup, sontak seakan lemas tak berdaya. Harapan yang tertumpuk dalam kristal rindu ini seakan meleleh, tak berbentuk lagi, mencair-tak berguna. Begitu pula tentang kerinduan ini. Seketika terhenti. Rindu yang selama ini membuatku sesak dan semakin sesak dalam penantian yang kuharap indah pada akhirnya. Harapan yang salah akan cerita bahagia.

Dalam suasana hati yang serba mendadak dan campur aduk itu, aku berusaha tenang di hadapan Ibu dan berkata datar namun berusaha mengesankan kebahagiaan “Wahhh, Mizaaaaannn, masih ingat juga dia denganku?”, kalimat pengalihan isu atas perasaanku saat itu. Kabar tentangmu saat itu terjawab sudah. Muhammad Mizan Aditya dan “tulang rusuknya”, Auliawati Chandranegara.

Aku menyimpan rindu dari kejauhan

Rasa berbeda yang tak pernah terungkapkan

Mungkin bukan cinta namanya kalau tanpa harapan

Harapan yang kini aku tenggelamkan bersama senja kerinduan

Biarlah hilang

Lagi-lagi kita berbeda ya Zan? Kau membangun cinta dan aku pupus cinta. Tapi, satu hal yangtetap sama, kita tetap sahabat (lama). Oke?

Aku yang turut berbahagia,

Fatiha Zahrannisa

-----selesai-----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun