Dalam beberapa tahun terakhir, metode agile telah menjadi topik hangat dalam diskusi mengenai transformasi digital di perusahaan. Agile, yang awalnya dikembangkan untuk mempercepat proses pengembangan perangkat lunak, kini mulai diadopsi oleh berbagai industri, termasuk perusahaan jasa. Namun, meskipun banyak yang sepakat bahwa metode ini menawarkan fleksibilitas dan kecepatan yang sangat dibutuhkan untuk bersaing di pasar modern, penerapannya dalam skala besar---khususnya di perusahaan jasa---masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Robert M. van Wessel, Philip Kroon, dan Henk J. de Vries (2021), hanya sekitar 30% perusahaan yang berhasil mengintegrasikan metode agile secara menyeluruh di tingkat perusahaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa agile masih sulit diterapkan di skala perusahaan jasa, terutama ketika manfaatnya begitu jelas terlihat?
Keterbatasan Enterprise Architecture (EA)
Salah satu faktor utama yang menjadi hambatan dalam penerapan agile di perusahaan jasa adalah struktur organisasi yang kaku, sering kali diformulasikan melalui enterprise architecture (EA). EA dirancang untuk menjaga stabilitas dan konsistensi operasional dalam perusahaan, dengan pendekatan yang sering kali terstruktur secara top-down. Di sisi lain, agile mendorong pendekatan yang lebih fleksibel, dengan pengambilan keputusan yang cepat dan adaptasi terus-menerus terhadap perubahan.
Konflik ini menciptakan kesenjangan antara pendekatan strategis dan operasional di perusahaan. Pada dasarnya, perusahaan jasa yang telah lama beroperasi dengan EA cenderung sulit beralih ke agile karena takut kehilangan kontrol atas sistem yang lebih luas. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 60% perusahaan jasa menghadapi resistensi internal dalam upaya menggabungkan framework agile-scaling dengan EA mereka. Hambatan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga budaya, di mana para eksekutif dan manajer terbiasa dengan struktur hierarki yang ketat.
Kompleksitas Skala Operasional
Perusahaan jasa besar memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda dibandingkan perusahaan teknologi atau startup. Mereka sering kali melayani ribuan hingga jutaan pelanggan dengan berbagai layanan yang terdiversifikasi. Mengadopsi metode agile dalam skala besar bukan hanya berarti mengubah cara kerja tim pengembangan, tetapi juga seluruh rantai nilai yang terlibat dalam operasional perusahaan.
Framework seperti SAFe (Scaled Agile Framework) dan LeSS (Large-Scale Scrum) memang dirancang untuk membantu perusahaan dalam mengimplementasikan agile pada skala yang lebih besar, namun mereka memerlukan perubahan struktural yang signifikan. Tidak sedikit perusahaan jasa yang gagal melakukan transformasi ini karena kurangnya kesiapan internal atau dukungan dari pemangku kepentingan. Selain itu, upaya untuk menyelaraskan setiap unit bisnis agar mengikuti prinsip-prinsip agile sering kali terhambat oleh birokrasi yang melekat dalam perusahaan besar.
Manajemen Perubahan yang Lambat
Faktor lain yang sering menghambat penerapan agile adalah proses manajemen perubahan yang lambat. Transformasi ke arah agile memerlukan perubahan budaya organisasi secara menyeluruh. Namun, banyak perusahaan jasa yang masih terpaku pada mindset lama, di mana hierarki dan kontrol manajerial yang ketat masih mendominasi. Studi yang sama dari van Wessel dkk. menemukan bahwa resistensi terhadap perubahan menjadi salah satu alasan utama kegagalan transformasi agile.
Tidak hanya itu, perusahaan jasa yang sudah mapan sering kali kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan sumber daya untuk perubahan besar. Implementasi agile membutuhkan pelatihan ekstensif, perubahan dalam alur kerja, dan investasi teknologi yang signifikan. Ketika semua ini tidak direncanakan dengan baik, maka yang terjadi adalah kegagalan penerapan agile pada skala organisasi yang lebih besar.