Apa yang kita bayangkan saat mendengar kata “tulisan” ? Yah, pasti hanyalah deret kata yang memiliki maksud tertentu. Tradisi tulis menulis sudah ada sejak jaman dahulu, mulai dari jaman batu hingga jaman digital seperti saat ini. Tapi apakah kita menyadari betapa dahsyatnya kekuatan dari deret kata tersebut ?
Apabila sedikit menilik sejarah bangsa ini. Indonesia dulu memiliki orang-orang hebat yang berjuang melalui tulisan. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, atau biasa di panggil Pram. Ketertarikannya pada dunia tulis menulis sejak kecil dan latar belakang kehidupannya yang menderita (pada masa penjajahan) membuat Pram produktif mendobrak penjajahan melalui tulisan.
Melalui beberapa karyanya seperti Sepuluh Kepala Nica (1946) dan Krandji-Bekasi Djatoeh (1947) dan beberapa karya lain membuat Pram dipenjara oleh pihak Belanda. Namun apa daya, meskipun pihak Belanda memenjarakan tubuhnya, tetapi pihak Belanda tidak bisa memenjarakan pemikiran Pram. Hingga tak heran, meskipun dipenjara tetapi jari-jari Pram masih dapat menari-nari diatas kertas menuliskan pemikirannya. Adapun hasil karyanya yang lahir dari balik teralis besi penjara adalah Novel Perburuan (1950).
Bahkan sampai masa Orde baru pun banyak karya-karya Pram yang di larang beredar. Novel-novelnya di tarik dari peredaran karena dianggap mengajarkan paham Komunis. Hingga tak heran pada masa itu banyak orang-orang yang turut dipenjara hanya karena membaca novel. Bayangkan ! dipenjara karena membaca novel !
Selain itu ada juga tokoh yang produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan berupa puisi, yaitu Wiji Thukul. Lahir dalam lingkungan yang juga menderita (kaum buruh) membuat Wiji Thukul bangkit dan melawan lewat puisi-puisinya yang tajam mengkritisi ketidak adilan pada kaum buruh. Dan lagi-lagi tak heran Wiji Thukul pun menjadi salah seorang yang paling dicari pada masa Orde baru. Hingga akhirnya ia berakhir pada kematian yang tak jelas (ciri khas masa Orde baru). Bayangkan ! dibunuh karena puisi !
Dan tokoh lain yang sekarang sedang banyak dibicarakan, yaitu wartawan Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin juga menambah deretan tokoh yang berjuang melawan ketidak adilan dan penindasan melalui tulisan. Tulisan-tulisan Udin yang dimuat dimedia banyak mengkritisi pemerintah daerah pada saat itu diduga menjadi sebab terbunuhnya Udin. Wartawan udin dimata rekan-rekannya memang sosok yang kritis dan tajam dalam menuliskan kritik-kritiknya. Kini kasusnya mulai mendekati masa kadaluarsa dari 16 Kapolda DIY tidak ada satu pun yang mampu menuntaskan kasus wartawan Udin. Jangankan menuntaskan, itikat baik untuk mengankat kasus ini saja sepertinya tidak ada. Tentu saja ini menjadi salah satu borok kepolisian yang sangat memalukan. Bayangkan lagi ! dibunuh karena berita !
Dari cerita tiga sosok diatas sudah cukup menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan tulisan. Deretan huruf diatas kertas mampu membuat berbagai pihak gerah. Entah apapun itu bentuknya, novel, puisi, maupun berita terbukti mampu membuat gentar sebuah rezim. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa kita pun dapat turut berjuang melawan ketidak adilan dan penindasan di negeri kita ini. Tak usah jauh-jauh mencari medan perang dan tak usah susah-susah turun kejalan. Ambil penamu, menulislah ! ambil laptopmu, mengetiklah !Perubahan dapat terjadi dimana saja. Termasuk dikamar kost mu !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H