Mohon tunggu...
Ridho AdityaNugroho
Ridho AdityaNugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN WALISONGO

"Rebahan adalah jalan ninjaku"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cermin untuk Masa Depan atau Kartu Sejarah?

13 Juni 2021   19:45 Diperbarui: 13 Juni 2021   19:48 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isu-isu sejarah mengenai invasi militer yang dilakukan Jepang terhadap China membawa awan besar atas hubungan kenegaraan China dan Jepang. Pada 1998, Presiden Tiongkok Jiang Zemin melakukan kunjungan ke Jepang. Dia berpidato di Universitas Waseda yang menguraikan hubungan persahabatan mereka, namun pada pidatonya Jiang Zemin juga menjelaskan bahwa pada akhir abad ke-19 Jepang menduduki China dan Taiwan setelah perang Sino-Jepang pertama. Bahkan setelah perang Russo-Jepang pada 1905, militerisme Jepang meluas hingga ke Lushun (Port Arthur) Tiongkok dan Dalian. Hingga pada 1930-an Jepang melakukan perang agresi skala penuh terhadap China. 

Menyebabkan kerugian harta maupun jiwa. Dalam pidatonya Jiang berulang kali megupas masalah sejarah dalam pertemuannya dengan Jepang. Namun China gagal mendapatkan permintaan maaf tertulis dari pemerintah Jepang yang telah dibuat kepada Presiden Korea Kim Dae Jung yang telah berkujung sebulan sebelumnya. Permasalahan Sejarah antara China dan Jepang mengenai agresi militer yang pernah dilakukannya ini menjadi ledakan emosi bagi China. Pemerintah Tiongkok menegaskan masalah sejarah China dan Jepang ini telah menjadi isu politik yang cukup sensitif. 

Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan bahwa hal tersebut menjadi fokus negosiasi normalisasi diplomatik Tiongkok-Jepang tahun 1972 dalam memahami dan menanggapi agresi militer Jepang terhadap Tiongkok. Namun, "Deklarasi Bosnia Cina-Jepang" dan "Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan Cina-Jepang" telah mengabaikan hal ini, yang telah menjadi landasan politik hubungan kedua negara. Berawal dari pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, masalah "historis" yang terdaftar di Kementerian Luar Negeri adalah kategori terpisah dari reparasi perang dan senjata kimia yang ditinggalkan Jepang di China. 

Kedua, China terus memperingatkan apa yang disebut "kekuatan kecil sayap kanan di Jepang." Seiring waktu, China menyangkal dan memutihkan sejarah agresi dan menyebabkan kehancuran hubungan Sino-Jepang. Duta Besar Jepang untuk China Tanino Sakutaro pada masa itu, memberikan perhatian pada masalah "Sejarah". Pertama, pada masa periode tertentu Jepang memulai jalan militerisme yang keliru dan berdampak pada jatuhnya korban dan kerusakan di China. Kedua, Pemerintah Jepang meminta maaf atas apa yang dilakukannya. Kelahiran kembali Jepang setalah perang dan menolak jalan kekuasaan militer setelah perang. Angkatan bersenjatanya pun mengubah namanya menjadi pasukan Bela Diri. Jepang juga berusaha untuk memberikan bantuan ekonomi negara-negara Asia. 

Pada akhir 1970- an hubungan bilateral kedua negara tersebut menjadi tunduk pada masalah ekonomi dan lainnya. Pada wala 1980-an menandai wala dari masalah sejarah, terdapat dugaan Jepang memutihkan buku teks sejarah untuk meminimalkan agresi masa lalu. Sebaliknya protes dan tuntutan Tiongkok yang berulangkali untuk permintaan maaf Jepang, mendorong rasa marah Jepang atas gangguan yang dirasakan dalam urusan domestik Jepang. Pemimpin China Deng Xiao-ping mengeluarkan masalah sejarah, mengatakan kepada delegasi Komeito yang berkunjung bahwa 'Jepang adalah negara yang paling berutang budi kepada China. 

Pertengahan 1980-an mahasiswa Tiongkok melakukan demonstrasi atas tindakan Jepang seperti kunjungan ke Kuil Yasukuni. Sikap Jepang mengenai masalah "sejarah"dianggap menjadi hambatan paling besar dalam mengembangkan hubungan ChinaJepang. Tahara Soichiro, pembawa acara talk show TV Jepang, dalam wawancara oncamera secara terang-terangan mengatakan kepada Duta Besar China bahwa sebab memburuknya sikap Jepang terhadap China adalah tututan permintaan maaf China yang tak kunjung usai. 

Masalah sejarah bukan hanya soal politik saja tetapi juga menyangkut ekonomi. Seruan untuk meboikot barang-barang dari Jepang untuk menghentikan "agresi ekonomi" akan terus berlanjut selama mereka mebawa ke pikiran boikot di era pra-perang yang digambarkan di China sebagai tindakan patriotik. Komentator Jepang sangat marah atas saran China bahwa " bantuan ekonomi saat ini berkaitan dengan kerusakan yang dilakukannya dimasa lalu. 

Kementria Luar Negeri Jepang mengatakan bahwa " sumber utama bantuan ekonomi China adalah pajak yang dibayarkan dari pendapatan mereka, oleh Jepang dari generasi Pasca Perang yang tidak ada kaitannya dengan kebijakan keliru dalam hubungan Jepang di China pada Era Showa. Permusuhan historis antar bagsa atau kelompok etnis tidak menyebabkan konflik militer dalam diri meraka sendiri, tetapi merka membuatnya lebih mungkin dalam keaadan tertentu karena dengan mudah berfungsi sebagai pembenaran yang nyaman untuk tindakan bellicose.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun