Mohon tunggu...
El Ridho Hasyim
El Ridho Hasyim Mohon Tunggu... -

Simple and sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum dan Kofigurasi Politik Abu-abu di Tengah Negeri penuh Kesepakatan

19 April 2011   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah konfigurasi arah politik yang tidak menentu sekarang, kembali menjadi pertanyaan bagaimana hukum harus memerankan fungsinya, hukum yang seharusnya menunujukan adanya fungsi sebagai pengendali perilaku masyarakat yang secara sengaja direncanakan untuk merespon berbagai perubahan sosial dalam segala aspek sosial, ekonomi, dan teknologi. Namun dalam realitas yang sekarang ini, fungsi hukum malah sebaliknya, yaitu hukum hanya dijadikan sebagai ornamen fiktif yang masyarakat patuhi karena takut kena sanksi bukan dari kesadaran individu manusia. Sehingga bisa diasumsikan apabila hukum tidak ada sanksinya tentu masyarakat akan sangat mungkin melanggar setiap aturan-aturanyang ada. Hal ini tentunya kurang sejalan dari makna subtansi yang ada dalam hokum itu sediri.

Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Dengan kondisipenegakan hukum yang masih belum memberikan hasil yang diharapkan masyarakat, terlebih dengan berbagai contoh pelanggaran dan penyimpangan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, skeptisme masyarakat terhadap penegakan hukum terjadi dan berdampak pada upaya penegakan hukum yang telah dilakukan selama ini. Dengan demikian, perlu adanya suatushock therapy berupa penegakan hukum yang konsisten dan tidak berpihak terutama dari dan untuk aparat penegak hukum dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat. Sosialisasi tentang tugas, kewenangan, dan fungsi dari kelembagaan yang dibentuk dalam sistem hukum sangat penting diberikan kepada masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan meningkatkan kesadaran hukum.

Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia seharusnya terfokus pada bagaimana produk politik yang dibuatnya harus berpihak pada rakyat, bukan hanya mengedepankan dan mendahulukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Sehingga equality before law memang benar-benar ada dan berfungsi secara optimal, dan sistem hukum Indonesia yang menghasilkan peraturan perundangan nantinya dapat berfungsi sebagai aturan dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Realitas hukum di atas tubuh bangsa ini layaknya sebuah layar bioskop, yang di dalamnya dipertunjukkan film 'detektif hukum', dengan skenario cerita yang telah dibuat secara saksama sebelumnya. Elite-elite pengarang cerita film hukum ini mengambil bahan baku dari realitas dan pengalaman sehari-hari, mengemasnya ke dalam sebuah rangkaian citra dan tontonan, dan berharap kita mempercayainya sebagai sebuah realitas. Sistem hukum tak lagi berfungsi sebagai wahana untuk memproduksi keadilan dan kebenaran, tetapi telah menjelma menjadi sebuah ajang permainan bebas tanda di antara elite-elite yang memilki kepentingan, semacam permainan semiotika yang halus dan tak tampak, yang meskipun demikian sudah dapat ditebak strukturnya berdasarkan pola-pola perulangan kejadiannya.

Pada akhirnya langkah dan tindak lanjut yang perlu dilakukan bertujuan untuk mendukung upaya penegakan hokum dan reformasi birokrasi. Perbaikan sistem hukum dan kelembagaan, khususnya terkait koordinasi lintas sektoral dalam upaya pengembalian eksistensi hukum, harus bersinergi dengan optimal dengan tetap berprinsip pada profesionalisme, berlandaskan kode etik, dan tetap menjamin akuntabilitas penegakan hukum. Memang tidak bisa dipungkiri sampai kapanpun hukum tentunya adalah sebuah representasi dari perpolitikan disuatu Negara, yang menjadi permaslahannya sekarang adalah bagaimana konfigurasi politiknya. Dengan menjalankan sistem demokrasi di Indonesia dengan baik, harapannya produk politik yang akan dihasilkan nantinya lebih otonom.

Setelah memperhatikan permasalahan KPK dengan POLRI, permasalahan Antasari dan permasalahan gaya kepemimpinan SBY, semakin menyadari kita bahwa negeri ini adalah negeri penuh kesepakatan, kesepakatan dalam kepentingan. Masih jauh jika mengharapkan tegaknya keadilan atau kebenaran. Kalau beberapa pendapat mengatakan telah tegak hukum di negeri ini itu artinya sekedar sesuai aturan hukum, benar atau salah , itu tergantung kesepakatan dan kepentingan. Perhatikanlah profesi pengacara, kadang dia berada di sisi orang yang “salah”, kadang dia berada di sisi orang yang “benar”. Yang terpenting “sesuai” aturan hukum, professional dan sesuai kesepakatan berdasarkan kepentingan masing-masing pihak. Kebenaran, keadilan, tanggung jawab kepada Tuhan itu masalah nanti.

Kasus BLBI, merupakan aspek hukum yang belum optimal, tindak lanjut dari hasil temuan BPK terhadap sejumlah kasus yang menjadi temuan dari audit BPK terhadap BLBI itulah salah satu yang mengindikasikannya. Menurut Ketua BPK, dari sekitar 50 pejabat Bank Indonesia dan 300 orang komisaris dan direksi bank yang telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung karena tersangkut kasus BLBI, baru tiga orang pejabat BI dan 24 orang komisaris dan direksi bank yang kasusnya sampai ke pengadilan. Sisi lainnya adalah aspek ekonomi, telah terjadi kesapakatan juga nampaknya. Pemerintah menerbitkan surat utang baru sebagai pengganti surat utang Nomor SU-001/ MK/ 1998 dan SU-003/ MK/ 1999. Nama surat utang baru tersebut adalah Obligasi Negara Nomor Seri SRBI-01/ MK/ 2003 diterbitkan pada 7 Agustus 2003 dan mulai berlaku tanggal 1 Agustus 2003, tanpa indeksasi, berjangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang.

Rakyat yang tidak tahu asal muasal kasus BLBI harus menuai getahnya, menanggung beban pembayaran melalui APBN, sementara orang-orang yang diduga melakukan penyimpangan masih bebas berkeliaran. Presiden yang pada masa kampanye dikenal kemajuan dalam pemberantasan korupsi, pemimpin yang katanya selalu memperhatikan kebijakan sesuai dengan aturan hukum tampaknya telah bersepakat dalam hal aspek hukum kasus BLBI. Walaupun rakyat sampai saat ini tidak pernah tahu apa “isi” kesepakatan itu. Sebagian pihak menganjurkan dengan polosnya, ”lupakanlah masa lalu, mari kita berpikir untuk pembangunan dan kemajuan masa kini, kalau gitu kita ndak akan maju-maju".

Kasus dana non budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). DKP mengutip pajak, retribusi, iuran, dan aneka pungutan dari rakyat. Sebagian dari uang rakyat itu disulap jadi “dana non budgeter” yang jumlahnya seperti kata lagu Bengawan Solo, “Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.” Menurut kesaksian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) disumbangkan bagi para politisi yang ikut Pemilu dan Pilpres 2004. Hanya seorang capres dengan gentle yang mengaku yakni Amien Rais. Amien Rais mengaku menerima dana Rp 200 juta langsung dari Rokhmin. Amien memberikan penjelasan pada KPK, bahwa Rokhmin memberikan cek perjalanan (traveller’s check) Rp 200 juta sebagai sumbangan untuk kepentingan pemilihan presiden. Uang itu selanjutnya ia serahkan kepada tim suksesnya, melalui Zulkifli Hasan, yang kini menjabat Sekretaris Jenderal DPP PAN. Setelah itu kasus ini tidak terdengar lagi sampai sekarang, mungkin telah terjadi sebuah kesepakatan.

Begitu pula seperti politisi sekarang yang kebanyakan pragmatis tidak lagi idealis, paginya mereka berdebat bahkan menjurus berkelahi, namun malam harinya ada kemungkinan ”bersahabat”. Zaenal Ma’arif salah satu representasinya, dengan kepentingannya ingin membeberkan mengenai pernikahan SBY sebelum masuk Akmil, yang kemudian oleh SBY digugat sebagai pencemaran nama baik Presiden, namun akhirnya Zaenal Ma’arif malah masuk dan menjadi anggota DPR dari partai SBY. Politisi anggota partai koalisi pendukung SBY pun pada masa pilpres 2009, dengan jelas kita dapat melihat berulang-ulangnya drama ”teriak” – ”sepakat” – ”teriak” lagi – ”sepakat” lagi.

Secara serdahana dan dapat kita mudah temukan, bagaimana kepolisian "membiarkan" penjual CD/VCD/DVD bajakan, yang terkadang berisikan pornografi yang merusak generasi muda. Penjual itu pun kadang kala dapat kita temukan hanya beberapa meter dari kantor polisi. Entah kesepakatan apa yang terjadi dengan para penegak hukum. ”Kesepakatan” juga tentu timbul dan ”dilanjutkan” dalam masa kepemimpinan presiden SBY, seperti tindak lanjut kasus penculikan atau penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kasus Munir, Kasus-kasus pelanggaran HAM dll. Beginilah kemajuan rakyat Indonesia yang semula disebut bangsa yang ramah, kukuh dengan adat ketimuran, idealis, religius sekarang tanpa kita sadari telah tercemar dengan apa yang disebut dengan paham kebebasan (liberalisme) tanpa limitasi yang jelas. Sebenarnya sah-sah saja berpaham liberal, namun itu harus diimbangi kultur yang sudah dianut oleh bangsa ini berabad-abad. Paham kebebasan tanpa batas inilah yang mendorong dan membudayakan kesepakatan.

Lihatlah dengan paham kebebasan, mereka berpendapat bahwa pornografi di”benar”kan dalam seni, pentas budaya, dll Apapun perbuatan, kegiatan, kreasi yang dilakukan secara “damai”, sama-sama menjalankan hak, tidak saling menganggu satu sama lain, disepakati sesama manusia itulah yang menurut mereka kebenaran. Kebenaran yang relatif dan pragmatis. Urusan dengan Tuhan, menurut mereka adalah urusan individu semata dan bahkan itupun urusan “nanti”. Begitu juga apa yang diteladani pemimpin/raja dari paham “kesepakatan” yakni Amerika Serikat. Demi hak mereka ”merasa aman”, maka dengan dasar sebuah ”kebohongan”, mereka dapat menyerang, menjajah sebuah negara seperti Irak, Afghanistan. Mereka membunuh dan menyiksa ribuan manusia. Mereka melakukan hal tersebut sama sekali bukan untuk menegakkan kebenaran, namun mereka menegakkan apa yang telah mereka sepakati dan berdasarkan kepentingan mereka.

Untuk itulah saya mengkhawatirkan rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan di Amerika, sekembalinya mereka dari sana sebagian besar terkontaminasi, menyebar-luaskan paham ”kesepakatan” yakni paham ”liberalisme”. Dalam pengangkatan menteri KIB II, SBY pun entah bagaimana, "sedikit melanggar" prosedur "fit & proper test" yang beliau sepakati dan tetapkan sendiri, dalam pengangkatan menkes Endang yang lulusan pendidikan Amerika dan terkenal "dekat" dengan lingkungan Amerika walaupun ”track record” Endang pernah melakukan ”pelanggaran”. Begitu sulitnya mencari rakyat Indonesia untuk didudukan sebagai menteri dengan "track record" tanpa "pelanggaran" dalam hidupnya. Porsi menteri yang lulusan Amerika atau ”keterkaitan” dengan Amerika, juga cukup banyak di KIB II. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan beliau, “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country” ? Entah apa sebenarnya kesepakatan dengan Amerika ? Apakah ini sesuai dengan isyarat Allah dengan bencana-bencana alam yang menasional di bumi tercinta ini ?

Wallahu a’lam….

---Fiat Justitia, et Pereat Mundus---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun