Mohon tunggu...
El Ridho Hasyim
El Ridho Hasyim Mohon Tunggu... -

Simple and sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Paradoks Keadilan Substantif dalam PHPU Kada oleh MK

26 Oktober 2011   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:29 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadirnya pola pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), baik gubernur, bupati, dan walikota yang dilakukan secara langsung memberikan angin segar terhadap pertumbuhan demokrasi yang ada di Indonesia. Hal tersebutmenandakan keseriusan pemegang kekuasaan untuk melibatkan civil society untuk terlibat secara langsung dalam menentukan pemimpinnya. Selain itu juga sebagai bentuk peralihan paradigma bahwa masyarakat saat ini kapasitasnya diberdayaan bukan lagi diperdayakan dalam peranannya menjalankan dinamika demokrasi.

Praktik pemilukada secara langsung nampaknya tidak se-ideal yang ada dalam teori-teori. Hal ini terbukti dalam implementasinya menimbulkan persoalan yang cukup serius. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang luhur dalm pemilukada secara langsung tersebut terciderai oleh praktik-praktik kotor oknum pemilkuda yang berlaku curang. Pemilkuda langsung pada dasarnya untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal dengan berbagai kemajuan, tetapi juga memunculkan fenomena “ekonomi politik bayang-bayang” dengan calon hanya bermodalkan politik dan modal ekonomi dalam pencalonannya (Kacung Marijan, 83:2006). Sehingga yang sering dijumpai dalam pemilukada adalah adanya praktik money politic, ketidakjujuran peserta dalam melengkapi persyaratan, ketidaksiapan penyelenggara , ketidaknetralan penyelenggara dan seterusnya. Efek tersbut mengakibatkan persengketaan pasca terselenggaranya pemilkuda langsung.

Dalam konteks inilah, Mahkamah Konstitusi (MK) hadir sebagai “polisi konstitusi” dalam menyelesaikan persoalan (sengketa) pemilkuda. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Dasar yuridis lainnya adalah UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara tegas dijelaskan bahwa sengketa pemilukada telah dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut tentunya memiliki tujuan. Beberapa tujuannya yaitu,beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu (Riri Nazriah:2010). Tujuan lainnya adalah agar MKbisa memutuskan perkara pemilkuda secara cepat dan adil. Hal ini mengingat beberapa survey menunjukan bahwa lembaga yudikatif yang dipandang masih independen dan bisa diharapkan dalam menegakan keadilan hanyalah MK. Tujuan tersebut nampaknya selaras dengan semboyan lembaga penafsir konstitusi tersebut yaitu mewujudkan keadilan substantif.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benar-benar memposisikan keadilan substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja pertanyaan itu muncul mengingat hakim di lingkungan MK juga seorang manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kekhilafan. Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama, parameter keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah pergulatan abadi manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era plato sampai abad akhir keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya diperdebatkan. Immanuel Kant melihat keadilan sebagai bagian dari kewajiban moral yang tidak bisa dipertanyakan (Theo Huijbers:1995). Keadilan berpijak pada tiga prinsip, yakni tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang, memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari kebebasan. Keadilan adalah bagian dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari manusia.

Kedua, putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding). Sehingga upaya hukum terhdap putusan tidak dikenal, mengingat adanya ketidak laziman tersebut, pastinya akan berimplikasi kepada pencari keadilan (Bambang Sutiyoso:2009). Persoalan ini tentunya menimbulkan tanya bagaimana apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA?

Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi, idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu hal tertentu yang melawan keputusan hakim.

Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan ketentuan atau ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada muaranya. Sehingga tidak heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan berbagai interpretasi, sebagian kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan bentuk keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, hal ini mengingat lembaga yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak ada lagi yang bisa diharapakan. Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten mengedepankan nilai keadilan kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri dan wajar muncul dugaan bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk arogansi, bahkan ‘kediktatoran’ para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para hakim MK tidak bisa di awasi oleh lembaga lain, dan masih debatable-nya rumusan keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan komposisi hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga negara tersebut memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan. Namun, ke depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi hakim di MK. Sehingga kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena dan cenderung arogan bisa saja muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral dan jiwa negarawan yang baik. Oleh karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan keadilan substantif yang di agung-agungkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Selain itu banyak persoalan sengketa pilkada yang ditangani MK, maka secaraotomatis berdampak besar terhadap kualitas putusan yang dibuat lembaga tinggi negara itu. Komite Pemilih Indonesia (TePi) mencatat, dari seluruh pilkada yang telah digelar di berbagai daerah Indonesia, sebanyak 50 persen masuk ke MK. Jadi, hasil pilkada setengahnya berakhir dengan sengketa. Mengdasarkan pada fakta tersebut, tidak heran kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai terkikis lantaran seorang hakim bisa menggelar empat hingga lima sidang per hari, dan hal itu dirasa kurang efektif dalam persidangan. Oleh karenanya untuk menjaga kredibilitas hakim MK dan konsistennya lembaga tersebut dalam mengawal demokrasi, maka kemudian muncul usulan sengketa pilkada kembali ke wacana awal yaitu diselesaikan di pengadilan tinggi. Selain untuk mengurangi ‘beban pekerjaan’ MK, juga biaya penyelesaian sengketa dapat dipangkas karena dilakukan di daerah masing-masing, dimana pihak bersengketa tak perlu lagi datang ke Jakarta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi. Model tersebut secara teori dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik, akan tetapi faktanya masih menimbulkan beberapa persoalah. Sehingga masih perlu pengkajian secara komprehensif untuk mengatasi hal tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun