Mohon tunggu...
El Ridho Hasyim
El Ridho Hasyim Mohon Tunggu... -

Simple and sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Quo Vadis Recall Anggota DPR

18 April 2011   04:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vox populi vox dei, slogan yang memiliki arti suara rakyat adalah suara tuhan sebenarnya memiliki filosofi yang luhur, akan tetapi seiring dengan dinamika zaman filosofisnya seolah-olah ikut tereduksi dengan derasnya perkembangan global. Pengukuhan atas fakta bahwa suara rakyat tidak lagi memiliki nilai tawar yang ampuh begitu nampak dalam berbagai realita yang ditunjukan oleh elit politik. Fenomena yang lagi hangat-hangatnya yaitu terkait pembangunan gedung baru DPR, yang dalam konteks ini elit politik yang duduk di senayan sebagai ‘perwakilan rakyat’ seolah bergeming akan jeritan rakyat yang menolak pembangunan gedung baru yang ditaksir menghabiskan dana lebih dari 1 trilyun tersebut. Belum selesai persoalan gedung baru dengan budget yang sulit dilogikana tersebut, kinii masyarakat kembali disajikan dengan recall anggota DPR yang dianggap berseberangan dengan partainya. Nampaknya, kedua fakta tersebut menjadikan bukti sahih bahwa kepentingan elit politik masih mendominasi dalam tatanan negara demokrasi yang di anut oleh Indoensia.
Recall : Kedaukatan Rakyat Vs Kedaulatan Parpol
Secara hsitoris recall memang sudah dikenal pada masa orde baru dengan dasar yuridis Undang-undang No. 10 tahun 1966, maksud di implementasikannya recall pada waktu itu tidak lain adalah untuk menyingkirkan orang yang masih ‘setia’ pada orde lama pimpinan Soekarno. Dalam Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD recall kembali di orbitkan, dengan mengacu pada pasal 213 ayat (1) yang menyatakan bahwa anggota DPR berhenti antar waktu karena: a. Meninggal dunia, b. Mengundurkan diri, c. Di berhentikan. Kemudian pada ayat (2) salah satu poin tentang pemberhentian anggota DPR yang terkesan aneh adalah pada huruf e yang menyatakan anggota DPR diberhentikan antar waktu karena diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut semakin sumir mengingat parameternya yang tidak jelas. Sehingga berpotensi praktek recall hanya didasarkan atas kepentingan elit politik dan transaksional. Padahal kita sadar bahwa anggota DPR dipilih secara demokratis dengan dipilih langsung oleh rakyat.
Selain itu praktek recall yang legitimasinya dengan mendasarkan pada UU tersebut memberikan arti bahwa telah terjadi pergeseran hakekat kedaulatan, yang awalnya kedaulatan ditangan rakyat, kini dengan adanya recall maka kedaulatan berpindah tangan pada partai politik. Pergeseran tersebut sejatinya telah ‘mengkhianati’ konstitusi yang secara tegas menyatakan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bahwa kedaulatan ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan undang-undang. Kemudian apabila dipahami dengan logika yang sehat, seharusnya mekanisme recall diberikan kepada konstituen yang telah menempatkan wakilnya di senayan, bukan malah memberikanya kepada parpol untuk melakukan recall. Apabila hal tersebut terus dilestarikan, lantas pertanyaan yang muncul dimana posisi rakyat yang telah memilih wakilnya untuk menyampaikan aspirasinya?. Seyogyanya memang rakyatlah yang berhak menilai dan memberhentikan wakilnya apabila dianggap kurang cakap dalam mengemban amanahnya. Hal ini selaras dengan sistem pemilihan yang telah berubah dari sistem proporsional menuju sistem distrik perwakilan terbanyak, dimana dalam sistem ini mendasarkan suara terbanyak dari daerah pemilihan itulah yang berhak menjadi anggota DPR. Sehingga konsekwensinya, wakil rakyat tersebut mewakili suara atau aspirasi dari rakyat daerah yang telah memilihnya. Oleh karenanya sangatlah logis apabila rakyat yang kemudian diberikan legitimasi untuk melakukan recall terhadap wakilnya. Dengan mekanisme seperti ini berarti memberikan kejelasan terhadap posisi rakyat yang sebenarnya.
Pro-kontra Recall
Berbicara recall memang tidak bisa dilepaskan dengan sistem kepartaian yang ada di Indonesia dan koalisi yang di praktekan. Semangat yang dibangun dengan memunculkan recall sebenarnya memuat tujuan yang positif, yaitu sebagai mekanisme kontrol terhadap anggotanya. Akan tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah terkait sistem partai dan model koalisinya, dengan melihat sistem multi partai dan pola koalisi yang di anut oleh negara ini, maka kemudian menjadi ambigu ketika recall tetap dipertahankan. Setidaknya ada beberapa argumentasi yang bisa dijadikan dasar atas sistem multi partai dan model koalisi di Indonesia. Pertama, nilai positif dari recall tetap dipertahankan dengan sistem multi partai dan koalisi yang dibangun adalah sebagai upaya preventif untuk mengantisipasi gejolak politik yang akan ditimbulkan, yang hal itu bisa saja akan menimbulkan instabilitas politik. Hal ini dikarenakan apabila tidak ada mekanisme recall dikhawatirkan anggota parpol yang duduk di DPR bisa membuat blunder terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah ditanda tangani didalam koalisi. Perlu dipahami bahwa dengan sistem multi partai dan sistem presidensiil sekarang ini, jelas memberikan gambaran bahwa eksekutif (presiden) dalam menjalankan program-programnya membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen. Apabila model koalisi yang sudah dibangun guna memantapkan dan memperlancar jalannya program yang telah di matriks-kan oleh presiden dengan baik tidak mendapat respon positif dari anggota DPR, yang hal tersebut diakibatkan oleh ‘ulah nakal’ anggota DPR yang tergabung dalam koalisi, maka secara otomatis akan mengalami deadlock. Sehingga dalam konteks inilah maksud dan tujuan recall harus tetap dipertahankan.
Kedua, Menurut Mahkamah, salah satu upaya dalam memberdayakan Parpol adalah dengan memberikan hak atau kewenangan untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap anggotanya, agar anggota bersikap dan berbuat tidak menyimpang. Apalagi bertentangan dengan AD/ART. Artinya apabila Parpol tidak diberi wewenang menjatuhkan sanksi terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART atau kebijaksanaan Parpol maka anggota Parpol bebas berbuat semena-mena. Oleh karenanya recall dijadikan sebagai mekanisme pengawasan. Dalam tataran ini memang hakekatnya recall berfungsi dalam rangka menegakkan otoritas dan integritas partai politik. Sehingga, jaminan atas otoritas dan integritas parpol dapat terakomodir dengan memberikan hak recall kepadanya.
Sementara dalam posisi kontra sebenarnya lebih mendasarkan bahwa recall terhadap anggota DPRD sama halnya membonsai hak asasi manusia yang bersifat inheren. Recall merupakan bentuk pembatasan atas kebebasan berpendapat, karena seseorang yang vokal akan merasa takut ketika menyampaikan argumentasinya, hal itu dikarenakan kekhawatiran di recall oleh parpolnya karena di anggap salah. Hal itulah yang sekarang ini terjadi pada Lili Chodijah Wahid dan Efendi Choiri. Padahal pengaturan kebebasan berpendapat di Indonesia adalah tidak terlepas dari hak dasar seluruh umat manusia yakni Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendapat jaminan perlindungan hukum dalam BAB X A Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan peraturan Perundang-undangan lainnya yakni UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya perlu atau tidak adanya recall bukan lah sesuatu hal yang menjadi persoalan primer. Tetapi lebih kepada bagaimana mekanisme recall itu diatur dan diimplementasikan dengan apik tanpa harus melanggar hak asasi tiap manusia dan bisa menjamin keadilan terhadap semua anggota DPR. Maka dari itu rekomendasi penulis ialah mekanisme recall tetap ada akan tetapi dengan catatan bahwa kriteria recall terhadap seorang anggota DPR didasarkan atas parameter yang konkret, jelas dan tanpa multi tafsir. Kemudian, sebelum recall di jatuhkan kepada anggota parpol, parpol harus menyediakan forum dan merumuskan mekanisme internal terkait recalling terhadap anggotanya secara objektif, adil, akuntabilitasnya terjamin, dan memperhatikan aspek keadilan. Sehingga, kejelasan filosofi recall akan lebih berdasar dan terukur validitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun