Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suka Karya Seni Zaman Dulu

16 Januari 2021   09:44 Diperbarui: 16 Januari 2021   09:47 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Suka Karya Seni Zaman Dulu

Seandainya aku berkata kalau aku suka musiknya John Denver, Cat Stevens, atau musisi-musisi zaman dulu lainnya---musik-musik yang lahir sebelum tahun 2000---mungkin kalian akan menganggapku kuno, meremehkan, atau menyindir, "oh, seleranya selara orang tua ya," atau semacamnya. Mungkin juga kalian akan merespon dengan biasa-biasa saja, "ya setiap orang punya selera masing-masing." Mungkin juga kalian akan bilang suka juga---ya tapi ini kayaknya jarang sekali. Tetapi kalau ada yang bilang suka, aku akan penasaran: kenapa suka?

Kalian penasaran tidak kenapa aku suka John Denver dan Cat Stevens? Eh, sebetulnya yang kumaksud bukan soal John Denver dan Cat Stevens saja, bukan musik saja, tetapi film juga, eh pokoknya karya seni deh. Akhir-akhir ini aku sering cari-cari referensi film-film dan musik-musik lawas, tahun 90-an, atau bahkan sebelum itu. Sekali lagi aku bertanya, kalian penasaran tidak?

Bodo amat. Sebetulnya penasaran tidak penasaran aku bakal ceritain kenapa-nya.

Sebetulnya film-film jadul---eh, maksudku zadul (zaman dulu)---yang sudah aku tonton itu kebanyakan adalah terjadi secara kebetulan. The Shawshank Redemption (1994) dan Forrest Gump (1994), aku ketahui saat aku cari referensi film inspirasi. Fight Club (1999), aku ketahui saat cari film terbaik sepanjang masa. City of Angels (1998), aku ketahui dari komentar netizen di YouTube, yang bilang kalau Iris, Goo Goo Dols, adalah original soundtrack dari City of Angels. Groundhog Days (1993), aku ketahui dari baca buku Keep Going (Austin Kleon). Dan lain-lain. Semua film itu aku katakan bagus. Dan bukan bagus biasa, tetapi, "bagus sekali ini film. Padahal dibuatnya zaman dulu lho. Ilmu pengetahuan belum berkembang seperti sekarang, tapi kok mereka bisa ya. Bisa dapat ide-ide unik dan menjadikannya film sebagus ini." Dan karena itu aku malah jadi sering cari-cari film zadul, karena aku berasumsi kemungkinan besar bagus-bagus.

Ternyata tidak. Contohnya Manhattan (1979), karya Woody Allen, aku tahu itu karena Raditya Dika bilang kalau dirinya ngefans sama Woody Allen---entahlah mungkin soal selera, pikirku dulu. Tetapi ternyata bukan begitu.

Di channel Caknun.com, Sabrang (vocalis Letto) cerita, kalau Patub (Gitaris Letto) pernah bilang, "kok lagu-lagu zaman dulu bagus-bagus ya." Dan kemudian Sabrang menelitinya, apa iya seperti itu? Dan ternyata tidak. Banyak musisi-musisi di zaman dulu yang menghasilkan karya jelek juga. Tetapi tidak terkenal. Tidak ketahui, tidak teraba oleh orang-orang di masa ini. Sabrang pun mendapatkan kesimpulan, bahwasanya karya yang rentang waktu eksisnya panjang atau lama adalah karya yang mendekati kebenaran. Kebenaran yang dimaksud mungkin juga bisa diidentikkan dengan kata  'kesempurnaan'.

Owalah, itulah kenapa ketika aku menemukan karya zadul hampir selalu bagus. Karena kalau tidak bagus pasti tidak aku temukan, atau sulit aku temukan. Karena karya tidak bagus pastilah tidak bisa eksis hingga masa kini.

Maka dari itu, aku tak perlu heran kalau film-film zadul yang masih eksis biasanya merupakan inspirasi dari film-film baru yang bagus. Misalnya, Fight Club (1999) adalah inspirasi dari film Mr. Robot Series (2015). Dua film itu sama-sama ada aspek konspirasi dan tokoh yang memiliki dua kepribadian.

Kembali ke pertanyaan: kenapa aku suka karya zadul? Karena karya zadul yang bisa kita temukan biasanya bagus. Dan karya seni zadul adalah inspirasi, atau awal munculnya karya-karya bagus di masa kini. Maka hargailah sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun