Mohon tunggu...
Ayu Desyafa
Ayu Desyafa Mohon Tunggu... -

seorang perempuan sederhana yang menyukai membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Taman Bunga di Kepala

11 November 2012   03:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi-pagi aku sudah bangun. Setelah sholat subuh, aku membereskan rumah dan halaman. Pagi masih kelam saat aku mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan di taman bunga. Udara begitu segar dan bersih. Ketika aku sampai di taman yang berbatasan langsung dengan kamar Elissa, aku sedikit terkejut, karena aku melihat ada taman bunga yang indah di dalam kamarnya yang remang-remang.

Aku mengusap mata. Sebelumnya aku tidak pernah melihat kamar Elissa dipenuhi taman bunga yang sangat indah. Awalnya aku tidak percaya pada penglihatanku. Namun setelah kupastikan berkali-kali, ini bukanlah halusinasi. Taman bunga itu benar-benar nyata.

Diam-diam aku mengintip ke kamar Elissa. Dan aku terbelalak, Elissa tengah bermain di taman bunga itu. Taman bunga yang indah dan bersemi di kamarnya sendiri.

Aku bertanya-tanya, sejak kapan Elissa menghadirkan taman bunga di kamarnya? Lantaran tak ingin terus penasaran, aku mengetuk pintu kamar Elissa dan meminta izin untuk masuk ke kamarnya. Ia memperbolehkanku masuk. Aku senang sekali.

Kini aku berada diantara taman bunga yang sangat indah. Bunganya berwarna merah, aku jarang melihatnya di sini.

“Ini namanya bunga cinta”, kata Elissa seolah mengerti dengan kebingunganku.

Bunga itu memang terlihat janggal bagiku. Aku baru melihatnya di sini. Bahkan namanya pun terdengar aneh. Bunga cinta? Setahuku bunga cinta bentuknya tidak seperti itu, tidak berwarna merah, tetapi seperti daun yang berbentuk hati. Tapi, biarlah,aku tidak usah memusingkan tentang nama bunga itu. Yang jelas taman ini sangat indah dan memesona.

Udara begitu segar dan wangi. Elissa menari-nari diantara bunga-bunga cinta yang memancarkan aroma segar. Tubuh Elissa sedikit-sedikit basah oleh embun yang bergelantungan di kelopak dan dedaunan bunga cinta. Ia tertawa. Aku turut senang melihatnya. Aku pun ikut menyusuri taman bunga  di sepanjang kamar Elissa.

“Elissa…”, dari luar terdengar suara Nyonya Dasha, mama Elissa, memanggil sambil mengetuk pintu.

Elissa hampir tidak mendengar panggilan itu karena ia sedang asyik menari di antara taman bunga.

“Elissa, buka pintunya Sayang. Kamu harus bersiap-siap karena sebentar lagi gurumu akan datang ke rumah. Ayo mandi dan sarapan”, seru Nyonya Dasha dari luar.

Aku memberi isyarat kepada Elissa lalu mengatakan padanya bahwa Nyonya Dasha memanggilnya.

Elissa berhenti menari. Ia bergegas menuju pintu kamar, dan sempat berbisik padaku, “Jangan bilang-bilang mama perihal taman bunga ini ya! Cukup kita saja yang tahu. Janji?”

Aku mengangguk dan berkata, “Ya! Aku berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini kepada siapapun.”

Elissa tersenyum dan membukan daun pintu sedikit saja.

“Tunggu sebentar ya Mama”

Aku melihat Nonya Dasha melirik-lirik ke dalam kamar Elissa. Namun Elissa seperti tidak memberi kesempatan kepada mamanya untuk masuk ke kamar.

***

Tepat jam delapan pagi, Elissa belajar dengan guru lesnya. Elissa tidak menempuh pendidikan  formal seperti anak-anak lainnya. Ia diajari oleh seorang guru privat yang kompetensinya tidak diragukan lagi. Elissa belajar setiap hari Senin sampai Jumat. Pada hari Sabtu, Elissa les piano dan Bahasa Inggris. Setiap hari Minggu Elissa dibebaskan melakukan apa saja yang ia suka, namun Elissa harus tetap di rumah.

Aku memperhatikan Elissa yang belajar dengan meraba huruf-huruf Braille. Ia gadis yang pintar dan menangkap dengan cepat apa yang diajarkan oleh gurunya. Bahkan aku pernah melihat Elissa mengetik dengan cepat di komputer. Ia sudah hafal letak semua huruf dan fungsi tombol-tombol yang ada di keyboard. Kadang aku iri melihat Elissa, aku tidak pernah sekalipun menyentuh komputer. Namun di sisi lain aku harus bersyukur karena Tuhan memberiku anugerah yang tidak ada pada Elissa. Aku masih memiliki penglihatan yang normal.

***

Keesoka harinya, seperti biasa, setelah sholat subuh aku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah termasuk membersihkan taman-taman bunga di halaman. Aku selalu mengerjakannya dengan senang hati karena bunga-bunga di taman itu membuatku bahagia. Elissa sering bertanya padaku tentang warna bunga yang ada di taman, namanya, dan bentuknya. Aku dengan sabar menjelaskan kepada Elissa. Kemudian Elissa akan kembali bertanya, seperti apa bentuk warna merah itu? Seperti apa bentuk warna kuning, hijaun, dan ungu? Dan aku kesulitan untuk menggambarkan bentuk-bentuk warna tersebut kepada Elissa.

Elissa menciumi dan menghirup aroma bunga-bunga itu. Lalu aku yakin ia membayangkan sendiri seperti apa wujud bunga tersebut. Ia mengkhayalkan sendiri bagaimana bentuk dan seperti apa rupa warnanya.

“Apakah kamu ingin melihat bunga-bunga itu, Elissa?” tanyaku padanya suatu hari.

“Sangat ingin. Namun aku tidak mau menyalahkan takdir mengapa aku tidak bisa melihat bunga-bunga dan melihat keindahan dunia lainnya. Aku bisa menghadirkan taman-taman bunga itu di kepalaku. Aku melihatnya dengan jelas dalam alam khayalanku”, kata Elissa membuatku sedikit menahan haru karena ia sama sekali tidak mengeluh atas keadaannya.

Pagi itu aku kembali mengintip ke arah kamar Elissa, dan aku dikejutkan lagi oleh sebuah taman bunga yang indah dan berbeda dengan taman bunga yang lain. Bunga-bunga disana tak satupun yang kukenali. Namun keindahannya tidak kalah dengan bunga-bunga yang pernah kulihat dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah aku sedang bermimpi atau tersedot dalam dunia khayal Elissa? Bagaimana mungkin Elissa bisa menghadirkan taman bunga yang berbeda dengan kemarin? Sungguh itu tidak mungkin terjadi dalam waktu semalam.

Aku mengintip dari jendela Elissa.

“Kau kah itu, Ve?” tanya Elissa. Aduh, Elissa sudah sangat hafal gerak-gerikku.

“Iya”, ucapku karena sudah terlanjut ketahuan.

“Masuklah ke kemarku jika engkau mau”

Aku memang mengharapkan kata itulah yang keluar dari mulut Elissa. Dengan hati-hati kudorong daun pintu kamar Elissa, dan sejenak aku sudah berada di antara taman bunga yang aromanya sangat wangi.

Ini benar-benar aroma wangi yang tak pernah kucium sebelumnya.

Aku melihat Elissa asyik bermain diantara taman-taman bunga. Aku memperhatikannya dan masih bertanya-tanya bagaimana taman bunga itu bisa hadir di kamarnya.

“Kau sungguh ingin tahu, Ve?”

Aku mengangguk.

“Tapi kau harus berjanji tidak mengatakan rahasia ini kepada siapapun”
“Pasti. Hanya kita berdua yang tahu”, ucapku menyakinkan Elissa.

“Taman bunga ini keluar dari kepalaku”, lanjut Elissa sambil tertawa. “Bagaimana? Indah bukan? Apakah taman bungaku sama dengan taman-taman bunga di luar sana?”

Aku takjub. Sudah kuduga, taman-taman bunga itu keluar dari alam khayal Elissa. Namun yang membuatku heran, mengapa aku juga ikut tersedot dalam alam imajinasinya?

“Taman ini lebih indah dari taman-taman bunga yang pernah kulihat”, ucapku pada Elissa. Elissa tampak senang dengan ucapanku.

Lalu dengan iseng aku bertanya, “seperti apakah sosok nyonya Dasha dalam kepalamu, Elissa?”

Elissa tersenyum. “Ia seperti peri yang mengenakan gaun putih. Wajahnya bersinar, rambutnya hitam dan panjang dan dikepalanya ada mahkota yang terbuat dari karangan bunga”

“Kalau aku?”

“Kau? Kau seperti kurcaci yang selalu mengikuti sang peri pergi, hehe”

Aku cemberut. Tapi tak lama kemudian aku tersenyum geli mendengar gambaran Elissa tentang dirku. Karena tubuhku memang imut.

“Ayo Ve, kita bermain bersama diantara taman-taman bunga ini”

Aku menyetujui ajakan Elissa.

Ketika kami sedang asyik bermain di antara taman bunga, Nyonya Dasha mengetuk pintu kamar dan mengingatkan Elissa agar segera bersiap-siap untuk belajar.

“Ve, kau tahu? Aku sungguh bosan belajar. Aku membayangkan sosok guru yang mengajarku seperti monster. Kaku dan menegangkan. Aku tertekan dengan suasana belajar seperti itu”

Aku kasihan melihat Elissa. Tapi Elissa lebih beruntung daripada aku, yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya.

“Aku tahu, kau harus mengkhayalkan tempat belajar yang indah dan guru yang tampan serta menyenangkan”, ledekku. Tawa kami pecah. Mata Elissa sampai berair karena tertawa.

***

Pagi berikutnya masih seperti pagi-pagi sebelumnya. Setelah sholat subuh aku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah hingga beres dan rapi. Lagi-lagi, ketika membersihkan halaman yang dipenuhi taman bunga, aku mengintip ke kamar Elissa. Dan aku kembali dikejutkan oleh taman bunga yang bersemi di kamar Elissa. Taman bunga itu berbeda dengan taman bunga yang kulihat kemarin dan dua hari sebelumnya.

Aku beranjak ke dalam rumah. Aku bermaksud hendak masuk ke kamar Elissa. Namun aku mendapati pemandangan yang menakjubkan. Ruangan tamu dipenuhi taman bunga. Aku terpaku dan berjalan ke ruangan tengah. Disana juga tedapat taman bunga yang berbeda dengan taman di ruang tamu. Merasa tidak puas, aku pergi ke kamarku. Astaga, kamarku juga dipenuhi taman bunga. Aku menuju dapur, kamar mandi, gudang, dan garasi. Semuanya sudah berubah menjadu taman bunga. Taman bunga yang sangat indah.

teman-teman, kunjungi juga blogku http://ri90.blogspot.com/ terima kasih...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun