Oktober yang basah. Hujan selalu rindu menjatuhkan rintik-rintiknya yang bening di langit kota Padang. Terkadang ia datang di pagi hari, siang hari, juga malam hari. Sekali turun, jutaan rintik kembali bergumul digumpalan awan untuk kembali jatuh pada saat-saat yang ia inginkan.
Oktober ini hujan begitu merdeka, datang sesuka hatinya. Bahkan ia terlalu mencintai bumi Padang sehingga betah berlama-lama menggenangi kota ini. Lalu orang-orang akan menyalahkannya perihal banjir yang menutupi sebagian besar tanah Padang yang terletak di dataran rendah. Padahal ini sama sekali bukan salah hujan. Hujan hanya menjalankah titah sang penciptanya untuk turun disaat ia memang harus turun, dan berhenti ketika ia memang diperintahkan untuk berhenti.
Meskipun begitu, ada banyak kalangan yang mencintai hujan dan menunggu-nunggu kehadirannya.
Termasuk Andre.
Hujan selalu memberikan kesan tersendiri baginya.
“Hujan…Kau hamparkan kisahku pada setiap rintik yang menerpa tubuhku”, bisiknya sore itu. Saat itu ia telah selesai menjalankan tugasnya sebagai guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di kota Padang. Dan hujan turun alangkah lebatnya. Ia selalu menulis puisi ketika hujan turun.
“Hujan, semilir angin, malam nan dingin
Menyapaku dalam keheningan lamunanku
Kepada siapa masalah ini akan kubagi?
Kuberbisik saja pada daun yang lembab berembun
Bolehkah aku sedikit bercerita?”
Siapa bilang lelaki tidak boleh memendam luka? Namun ia tak ingin terlihat rapuh. Karena itulah, ia menulis puisi, bersama hujan, hanyalah sebagai pelampiasan duka dan lara yang sulit ia ungkapkan.
Karena, bukankah luka tidak perlu dibagi?
“Kisah yang tak sempat terurai
Membawa pecah langit jiwa
Ia karam dalam samudera kecewa
Menyebar getah luka menabur hampa
Remuk dalam dada
Namun tak ada apa-apa
Tak berguna”
Ada yang mengatakan, jika seorang perempuan tertawa, tawanya lebih jujur daripada tawa lelaki. Namun jika seorang lelaki meneteskan air mata, air matanya lebih jujur daripada air mata seorang perempuan.
Tidak, ia tidak ingin menangis. Baginya air mata adalah untaian aksara yang ia tuangkan dalam baris-baris puisi. Sementara hujan adalah perumpamaan gambaran luka rindu yang tumpah ruah sekenanya karena tak sanggup lagi ia pendam. Bagaimanapun, ia hanyalah seorang lelaki biasa yang juga bisa merasakan sedih dan luka.
“Hujan rinduku”, lirihnya ketika memutuskan untuk menempuh hujan lebat sore itu, dengan pertimbangan ia harus segera sholat ashar.
Kawasan kampusnya di air tawar itu tergenang oleh hujan yang turun lebat dari tadi siang. Beberapa mahasiswa meringkuk kedinginan, memilih duduk di dalam kelas sambil menunggu hujan reda.
Andre nekat membelah hujan. Lamat-lamat tubuhnya menghilang dibalik rintik hujan dengan suara gemuruh yang hebat.
Bajunya basah kuyup. Ia mendekap tasnya, tak ingin ada sesetes hujanpun merayap masuk ke dalam lalu membasahi laptop kesayangannya.
“Aksaraku membeku. Batinku memilu. Terbuang percuma rinddu. Desau angin mengkhianatiku.”
Hujan sore itu memang disertai angin kencang. Ia segera berlindung di masjid kampus yang baru selesai dibangun dengan arsitektur yang menawan. Konon masjid yang terletak di tepi jalan raya kampus itu menghabiskan dana sebelas milyar untuk pembangunannya. Masjid al-azhar namanya, kebanggaan kampus Universitas Negeri Padang.
Ia menyimpan banyak kenangan dalam hujan.
“Tak kau lihatkah sendu bersenyawa diwajahku?
Tak peka kah kamu diamku beda padamu?
Tak pahamkah kamu tatapanku mengandung rindu?
Rasa ini kupendam dalam diam
Lalu kusamarkan dalam senyuman
Pada setiap langkahmu yang kuperhatikan
Pada setiap senyum yang kau ukirkan
Aku menahan perasaan…
Aku tak menyalahkanmu, hanya kesal padamu
Sinyalku tak terekam olehmu
Sinyal bodoh yang kusesali ada dalam sanubariku
Memilih dalam dua titik yang berakhir sama
Perpisahan dan kehancuran
Kuputuskan diam dan menahan
Berharap waktu mampu sembuhkan
Lukisan rasa yang tak terucapkan
Untuk kamu dan setiap malam kerinduan
# pada mata yang enggan terlelap pada hati yang tak kunjung henti dilanda badai
Dan Oktober benar-benar menuntaskan ceritanya tentang hujan. Tiada habis tercipta rangakaian aksara tentang hujan.
Derai air hujan terjatuh bersuara…
Rintiknya menyejukkan seperti biasa
Dinginnya pun menusuk rasa
Hujan melahap malam
Dingin menusuk kelam
Cahayaku temaram
Hujan
Sampai kapan engkau membius malam?
Menebarkan kerinduan
Melukiskan kegalauan
Hujan
Memetik buah rindu pada dia yang masih samar
Siluet ataukah gambar
Hujan
Melarutkan semua perasaan
Dalam aliran tuah kesejukan
Pada hati yang sembunyi di balik kekakuan
BERSAMBUNG
(Kira-kira enddingnya seperti apa ya? :D)
Catatan: Puisi-puisi dalam cerpen ini adalah puisi-puisi Andre Febra Rilma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H