Sore ini kusaksikan lagi pemandangan yang memilukan itu. Seorang anak kecil duduk di disampingku, menatap pada aliran sungai yang mengalir diantara bebatuan. Wajahnya mendung meski langit terlihat sangat cerah. Sesungguhnya sore itu adalah sore yang indah. Cobalah kamu lihat. Air sungai bergemiricik dengan tenangnya, mengalir dengan anggun dari kaki gunung, melewati sela- sela batuan, terus mengalir hingga tiba di muara. Pancaran cahaya mentari yang mengenai air sungai membuat sungai itu tampak berkilauan, sementara airnya berubah sedikit panas sebab sinar mentari telah menerpanya sejak pagi beranjak dhuha.
Lalu kamu lihatlah pula sinar mentari itu menerobos di sela- sela dedaunan yang rimbun. Pada batang- batang yang besar, sinar itu memantul membentuk bayangan yang mulai condong ke arah barat. Kamu tentu masih ingat pelajaranmu di sekolah, apabila cahaya menembus benda gelap, benda itu akan membentuk bayangan, apabila cahaya menembus bening, cahaya itu akan merambat lurus. Saat kamu melihat pada dedaunan yang rimbun itu akan kamu temui satu persatu dedaunan beguguran lalu jatuh ke sungai. Sungai dengan senang hati membawa dedeaunan turut serta dengan alirannya. Sementara pepohonan yang kehilangan daun itu tidak bersedih sedikitpun atas gugurnya bagian dari dirinya. Kamu akan saksikan dedaunan yang mengalir diatas aliran sungai itu memulai perjuangan hidupnya yang baru tanpa tergantung lagi pada pepohanan tempatnya bernaung selama ini.
Kamu juga akan mendengar kicauan burung yang merdu. Suara mereka semarak sekali, serasi dengan suara gemericik air sungai. Lalu dua tiga ekor diantara mereka beterbangan di sekitar anak kecil itu. Tapi lihatlah, dia tetap bersedih saat sekawanan burung mencoba menghibur dirinya. Kamu harus tahu, aku mendengarnya dengan jelas, dia menyebut namamu. Anak kecil itu sedang merindukanmu.
“ Sore ini kita akan lomba berenang, setuju?”
“Setuju... ”
“Ayo kita mulai”
Kamu dan segerombolan teman- temanmu asyik bermain di sungai. Kalian akan lomba berenang, di tempat yang agak jauh dariku. Disana hampir tidak ada bebatuan yang akan menghalangimu untuk berenang. Aku hanya menatapmu dari kejauhan. Wajahmu dan wajah teman-temanmu terlihat sangat ceria. Sementara kulit dan dadamu engkau biarkan terbuka. Kamu dan mereka menyebur ke dalam air. Kemudian muncul ke permukaan. Mengayuhkan tangan ke depan. Melaju bersama aliran air. Lalu kamu dan mereka berputar arah. Kamu menjadi pemenangnya. Kamu tertawa sumringah. Tak lama kemudian kamu dan teman-temanmu duduk- duduk di dekatku setelah lelah bermain air. Kalian bercerita tentang burung- burung dan dedaunan yang berguguran.
Esoknya kamu dan teman-temanmu kembali lagi ke sini. Ke tempat aku setia memperhatikanmu dan teman-temanmu itu tanpa kalian sadari. Aku cukup bahagia melihat keceriaan dari wajah- wajah kalian. Meskipun aku tahu nanti di rumah kalian akan dimarahi oleh orang tua kalian karena mereka tidak suka kalian terlalu sering bermain ke sungai. Namun kamu dan teman-temanmu senang bersahabat dan bermain dengan alam sehingga kamu juga mereka tidak terlalu mengacuhkan teguran orang tua kalian.
Sore itu kusaksikan lagi kamu dan teman-temanmu bermain air sembari bercengkrama di dekatku. Aku mendengar semua perbincangan kalian.
“Di sebelah sana kabarnya ada udang. Kalau kita bisa menangkapnya banyak- banyak, setiba di rumah akan kita goreng lalu kita makan bersama. Pasti enak. Udang sungai itu beda gurihnya dengan udang laut”
“Oh ya? Kalau begitu mari kita cari bersama- sama”
“Tidak ah, aku takut udang- udang itu menggigitku”
“Jangan takut! Kita akan menangkapnya dengan hati- hati”
“Bagaimana kalau kita malah menemukan buaya?”
“Di sini tidak ada buaya”
“Mana tahu ada siluman buaya”
“Itu hanya mitos dari ibu-ibu kita agar kita tidak mau lagi bermain ke sungai. Percayalah padaku di sini tidak ada buaya”
Kamu mencoba meyakinkan teman-temanmu walau aku juga melihat kekhawatiran di wajahmu. Kamu benar, di sungai ini tidak ada buaya. Jadi kamu dan teman- temanmu dapat bermain dengan aman.
Setelah mereka yakin, kalianpun menelusuri sungai menuju tempat yang kalian taksir sebagai tempat bersembunyinya kawanan udang. Kalian memburu pangkal- pangkal bebatuan besar. Kalian berharap kali ini peribahasan ada udang dibalik batu sungguh terbukti kebenarannya.
“Aku dapat satu...” seru anak kecil itu.
Kamu dan teman yang lain menghampiri si kecil itu. Benar, ia menangkap seekor anak udang. Kalian bersorak bahagia. Padahal anak udang itu sangat kecil. Jika digoreng akan semakin kecil lagi.
Anak kecil itu memasukkannya ke dalam botol bekas minuman air mineral. Kamu dan teman- temanmu semakin bersemangat mencari udang- udang lainnya. Kalian melakukannya sampai sore beranjak senja.
Saat sinar mentari semakin jingga, kalian memutuskan untuk kembali pulang. Lalu kalian menghitung udang yang berhasil kalian tangkap. Dan udang yang kalian dapatkan cuma enam ekor. Kalian menentengnya pulang dengan bangga. Aku hanya tergelak melihat tingkah engkau dan teman- temanmu.
Ketika kalian pergi aku kembali sunyi. Untung saja masih ada sekawanan burung yang menemaniku hingga esok datang lagi dan aku akan melihatmu lagi bermain- main di sungai ini.
Esoknya hujan turun sangat lebat. Aku kedinginan sendiri. Suasana begitu sepi dan mencekam. Aku tidak melihatmu. Juga tidak melihat teman- temanmu. Kalian pasti takut ke sungai ssat hujan lebat seperti ini. Itu bagus, sebab hujan-hujanan dapat membuat kalian sakit. Di samping itu saat hujan seperti ini alam kurang bersahabat. Kalian akan menjumpai banyak hal yang bisa membuat kalian celaka. Oleh karena itu keputusan kalian memlilih diam di rumah bersama ibu- ibu kalian adalah keputusan yang tepat.
Esoknya lagi kulihat kamu dan teman-temanmu kembali ke sungai. Aku tersenyum riang sendiri. Hari ini jadi ramai. Tidak seperti kemarin saat hujan membuat suasana begitu mengerikan.
“Air sungainya banyak ya”
“Iya, ini akibat hujan kemarin”
“Tetapi keruh”
“Jadi bagaimana? Kita jadi berenang?”
“Tapi airnya keruh dan agak dalam”
“Kamu takut?”
“Tentu saja tidak”
“Apakah ada buaya?”
“Sudah kukatakan di sini tidak ada buaya”
“Siapa tahu ia muncul setelah hujan kemarin”
“Hahaha, tidak mungkin”
“Baiklah, mari kita berenang”
“Tapi aku sedikit ragu”
“Maksudmu?”
“Aku merasakan sesuatu yang buruk akan menimpa kita”
“Tidak boleh terlalu cemas begitu. Ayo kita berenang bersama”
“Baiklah”
Kamu dan teman-temanmu berenang tanpa tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku sudah terlebih dahulu melihat datangnya tanda- tanda musibah itu. Ingin aku katakan, ingin aku berteriak, namun aku tak sanggup.
Di hulu sana, sore itu, saat kamu dan teman-temanmu sedang asyik berenang, sebongkah tebing di tepian sungai mengalami longsor dan jatuh ke sungai. Tebing itu memang sudah gundul. Hujan semalam membuatnya semakin rapuh. Longsorannya itu banyak sekali. Memenuhi hampir separuh bentangan sungai. Kamu dan teman- teman masih belum menyadarinya saat longsoran itu bergerak cepat ke arahmu. Semakin dekat. Kamu belum juga sadar. Semakin dekat.
“Awaaas...” serumu kepada teman-temanmu. Kamu berenang dengan sigap menghindari longsoran itu. Teman- temanmu juga mengikutimu. Kamu hampir tiba di tepi. Hampir selamat. Akan tetapi anak kecil itu kepayahan. Badannya yang paling kecil diantara kalian terlihat timbul tenggelam di sungai, kesusahan berenang sebab longsoran itu telah tiba di dekatnya.
Tanpa pikir panjang, kamu berenang dengan cepat menuju anak kecil itu. Ia telah meminum banyak air yang keruh. Kamu segera menolongnya. Dengan susah payah kamu angkat badannya di atas punggungmu. Kamu berenang lagi sekuat tenagamu.
Longsoran itu semakin ganas. Kamu kepayahan. Air sungai yang keruh dan material longsoran masuk melalui lubang hidung dan mulutmu. Namun kamu harus tetap berjuang menyelamatkan anak kecil itu.
Seorang temanmu datang, mengapung bersama batang pisang yang hanyut dari hulu. Kamu segera mengopor anak kecil itu kepada temanmu. Temanmu membawanya ke tepian dibantu oleh batang pisang. Mereka berenang dengan susah payah hingga akhinya sampai ke tepian dengan selamat.
Kamu mengumpulkan tenaga untuk menyelamatkan diri. Namun sebuah ancaman besar datang lagi. Longosoran yang lebih dahsyat datang tiba- tiba dari arah hulu. Menyergapmu. Menelanmu. Teman- temanmu berlarian meminta pertolongan. Setelah melalui pencarian selama tiga jam, kamu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
***
Di sini masih kuperhatikan anak kecil itu. Ia memandang sungai dengan tatapan pilu. Aku tahu ia sedang mengingatmu. Karena itu ia tidak mengacuhkan indahnya sore ini. Suara gemicik air sungai yang mengalir dengan anggun. Kicauan burung. Dan kilauan cahaya mentari yang menerobos dedauanan. Semuanya hambar saja baginya. Matanya sendu. Ia pasti sedang memikirkanmu. Seminggu yang lalu, ya, saat kejadian naas itu menimpamu. Engkau pergi setelah menyelamatkan nyawa anak kecil itu. Ia pasti merasa berterima kasih sekaligus bersalah. Ia telah berhutang nyawa padamu. Dalam kesendiriannya kini ia sangat merindukanmu. Kenangan bersamamu membuat hatinya semakin perih. Saat berenang bersama, saat mencari udang, dan saling menghamburkan air. Ingin sekali aku menyapanya dan mendengarkan cerita perihal kegundahannya serta rasa rindunya padamu. Aku pasti akan setia menemani dan mendengarkannya. Namun aku hanya sebuah batu kecil yang sering memperhatikanmu dan teman- temanmu setiap kali bermain ke sungai ini. Bagaimana mungkin anak kecil itu bercerita padaku. Aku hanya bisa mendengarkan namun tak dapat memberi respon.
Aku ikut bersedih atas kepergianmu. Aku tahu engkau telah bahagia di alam sana. Maka untuk hari- hari selanjutnya aku hanya menyaksikan pemandangan yang memilukan hati karena anak kecil itu selalu datang di sore hari dan duduk di sampingku untuk mengenangmu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H