Mohon tunggu...
Ayu Desyafa
Ayu Desyafa Mohon Tunggu... -

seorang perempuan sederhana yang menyukai membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Hujan

1 November 2012   05:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oktober yang basah. Hujan selalu rindu menjatuhkan rintik-rintiknya yang bening di langit kota Padang. Terkadang ia datang di pagi hari, siang hari, juga malam hari. Sekali turun, jutaan rintik kembali bergumul digumpalan awan untuk kembali jatuh pada saat-saat yang ia inginkan.

Oktober ini hujan begitu merdeka, datang sesuka hatinya. Bahkan ia terlalu mencintai bumi Padang sehingga betah berlama-lama menggenangi kota ini. Lalu orang-orang akan menyalahkannya perihal banjir yang menutupi sebagian besar tanah Padang yang terletak di dataran rendah. Padahal ini sama sekali bukan salah hujan. Hujan hanya menjalankah titah sang penciptanya untuk turun disaat ia memang harus turun, dan berhenti ketika ia memang diperintahkan untuk berhenti.

Meskipun begitu, ada banyak kalangan yang mencintai hujan dan menunggu-nunggu kehadirannya.

Termasuk Andre.

Hujan selalu memberikan kesan tersendiri baginya.

“Hujan…Kau hamparkan kisahku pada setiap rintik yang menerpa tubuhku”, bisiknya sore itu. Saat itu ia telah selesai menjalankan tugasnya sebagai guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA di kota Padang. Dan hujan turun alangkah lebatnya. Ia selalu menulis puisi ketika hujan turun.

Hujan, semilir angin, malam nan dingin

Menyapaku dalam keheningan lamunanku

Kepada siapa masalah ini akan kubagi?

Kuberbisik saja pada daun yang lembab berembun

Bolehkah aku sedikit bercerita?”

Siapa bilang lelaki tidak boleh memendam luka? Namun ia tak ingin terlihat rapuh. Karena itulah, ia menulis puisi, bersama hujan, hanyalah sebagai pelampiasan duka dan lara yang sulit ia ungkapkan.

Karena, bukankah luka tidak perlu dibagi?

“Kisah yang tak sempat terurai

Membawa pecah langit jiwa

Ia karam dalam samudera kecewa

Menyebar getah luka menabur hampa

Remuk dalam dada

Namun tak ada apa-apa

Tak berguna”

Ada yang mengatakan, jika seorang perempuan tertawa, tawanya lebih jujur daripada tawa lelaki. Namun jika seorang lelaki meneteskan air mata, air matanya lebih jujur daripada air mata seorang perempuan.

Tidak, ia tidak ingin menangis. Baginya air mata adalah untaian aksara yang ia tuangkan dalam baris-baris puisi. Sementara hujan adalah perumpamaan gambaran luka rindu yang tumpah ruah sekenanya karena tak sanggup lagi ia pendam. Bagaimanapun, ia hanyalah seorang lelaki biasa yang juga bisa merasakan sedih dan luka.

“Hujan rinduku”, lirihnya ketika memutuskan untuk menempuh hujan lebat sore itu, dengan pertimbangan ia harus segera sholat ashar.

Kawasan kampusnya di air tawar itu tergenang oleh hujan yang turun lebat dari tadi siang. Beberapa mahasiswa meringkuk kedinginan, memilih duduk di dalam kelas sambil menunggu hujan reda.

Andre nekat membelah hujan. Lamat-lamat tubuhnya menghilang dibalik rintik hujan dengan suara gemuruh yang hebat.

Bajunya basah kuyup. Ia mendekap tasnya, tak ingin ada sesetes hujanpun merayap masuk ke dalam lalu membasahi laptop  kesayangannya.

“Aksaraku membeku. Batinku memilu. Terbuang percuma rinddu. Desau angin mengkhianatiku.”

Hujan sore itu memang disertai angin kencang. Ia segera berlindung di masjid kampus yang baru selesai dibangun dengan arsitektur yang menawan. Konon masjid yang terletak di tepi jalan raya kampus itu menghabiskan dana sebelas milyar untuk pembangunannya. Masjid al-azhar namanya, kebanggaan kampus Universitas Negeri Padang.

Ia menyimpan banyak kenangan dalam hujan.

“Tak kau lihatkah sendu bersenyawa diwajahku?

Tak peka kah kamu diamku beda padamu?

Tak pahamkah kamu tatapanku mengandung rindu?

Rasa ini kupendam dalam diam

Lalu kusamarkan dalam senyuman

Pada setiap langkahmu yang kuperhatikan

Pada setiap senyum yang kau ukirkan

Aku menahan perasaan…

Aku tak menyalahkanmu, hanya kesal padamu

Sinyalku tak terekam olehmu

Sinyal bodoh yang kusesali ada dalam sanubariku

Memilih dalam dua titik yang berakhir sama

Perpisahan dan kehancuran

Kuputuskan diam dan menahan

Berharap waktu mampu sembuhkan

Lukisan rasa yang tak terucapkan

Untuk kamu dan setiap malam kerinduan

# pada mata yang enggan terlelap pada hati yang tak kunjung henti dilanda badai

Dan Oktober benar-benar menuntaskan ceritanya tentang hujan. Tiada habis tercipta rangakaian aksara tentang hujan.

Derai air hujan terjatuh bersuara…

Rintiknya menyejukkan seperti biasa

Dinginnya pun menusuk rasa

Hujan melahap malam

Dingin menusuk kelam

Cahayaku temaram

Hujan

Sampai kapan engkau membius malam?

Menebarkan kerinduan

Melukiskan kegalauan

Hujan

Memetik buah rindu pada dia yang masih samar

Siluet ataukah gambar

Hujan

Melarutkan semua perasaan

Dalam aliran tuah kesejukan

Pada hati yang sembunyi di balik kekakuan

BERSAMBUNG

(Kira-kira enddingnya seperti apa ya? :D)

Catatan: Puisi-puisi dalam cerpen ini adalah puisi-puisi Andre Febra Rilma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun