Aku adalah satu diantara hamparan ilalang yang tumbuh di sekitar kampusnya. Namaku ilalang, sejenis rumput tajam yang biasanya menjadi gulma di lahan pertanian. Namun disini aku bukanlah gulma. Aku mengisi lahan-lahan yang kosong untuk menyelamatkannya dari erosi.
Aku memiliki tunas panjang dan bersisik, merayap di bawah tanah. Helaian daunku tipis, berbentuk pita panjang yang ujungnya meruncing,tepinya rata, disertai dengan pertulangan daun yang sejajar dengan permukaan atas halus dan permukaan bawah yang kasar.
Aku dapat berkembang biak dengan cepat, dengan benih-benih yang tersebar cepat bersama angin, atau melalui rimpangku yang lekas menembus tanah yang gembur. Aku senang dengan tanah-tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai agak teduh, dengan kondisi lembap atau kering.
Di Bali dan Indonesia timur umumnya, daun-daunku yang dikeringkan dan dikebat dalam berkas-berkas digunakan sebagai bahan atap rumah dan bangunan lainnya.
Rimpang dan akarku kerap digunakan sebagai bahan obat tradisional, untuk meluruhkan kencing, mengobati demam dan lain-lain.
Aku rasa sampai disini dulu perkenalan diriku. Sebenarnya aku memiliki sebuah cerita bagus, tentang seorang gadis yang sangat menyukaiku. Gadis manis itu bernama Noven. Aku tidak ingat kapan tepatnya ia mulai menyukaiku. Ketika semester satu dulu, ia sering memperhatikanku di sekitar kampus. Jika ia berjalan, ia sering mencubitku atau menggodaku.
Sejak itu, akupun jadi sering memerhatikannya.
Kini Noven memiliki kebiasaan unik. Ia kerap duduk bersantai di sela-sela kami. Karena seringnya, kamipun tidak bisa tumbuh di tanah bekas ia dan teman-temannya duduk santai itu. Tentu saja aku dan teman-temanku senang melihat ada manusia yang berada di tengah-tengah kami. Memang begitu seharusnya, alam dan manusia saling bersahabat.
Aku juga sering dijadikan Noven sebagai latar foto-foto narsisnya. Ah, sku senang sekali karena bisa terekam di kameranya. Rupaku memang indah setelah diabadikan dalam lensa. Selain itu, Noven juga sering membaca ditengah-tengah hamparan kami. Ia membaca buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan kampus yang letaknya tidak jauh dari habitat kami.
Aku menyukai gadis itu karena ia sering menemaniku.
***
Siang itu ketika cuaca teramat sejuk, Noven datang menghampiriku. Kali ini ia tidak membaca, tidak juga ngerumpi dengan teman-temannya. Atau berfoto-foto ria. Ia tampak murung. Kenapa? Kamu kenapa Noven? Tidak biasanya ia seperti itu. Ia gadis yang selalu ceria. Aku bertanya-tanya. Aku bertanya pada angin, tapi ia berlalu begitu saja. Akhirnya aku hanya menunggu Noven mencurahkan isi hatinya.
Tiga puluh menit berlalu, Noven masih belum bicara. Aku khawatir, jangan-jangan ada seseorang yang telah menyakiti hatinya. Keterlaluan sekali orang itu! Aku menggerutu. Rasanya aku tidak bisa menerima ada orang yang melukai perasaan Noven, sahabatku.
Tak lama kemudian, ada seorang lelaki yang menghampiri Noven. Ia tersenyum pada Noven dan Noven terlihat grogi dan salah tingkah.
“Ngapain disini sendiri?”, Tanya lelaki itu.
“Lagi pengen sendiri saja, John”, jawab Noven.
Aku baru tahu kalau nama lelaki itu John.
“Sebentar lagi ada rapat pengurus HIMA. Teman-teman lain sudah menunggu di ruang HIMA”, ucap John kemudian.
“Baik, tunggu sebentar!”, lanjut Noven.
“Hmm kalau boleh tahu, engkau sedang memikirkan apa?”, John bertanya lagi. Sepertinya ia menaruh perhatian khusus kepada Noven. Aku melihat wajah Noven malu-malu. Aku jadi tersenyum sendiri.
“Hutanku, hutanku semakin hari semakin berkurang. Kenapa orang-orang itu jahat sekali menebangi hutan-hutanku? Kasihan pohon-pohon yang terluka. Kasihan hewan-hewan yang kehilangan habitat. Dan belum lagi dampak lain yang lebih berbahaya. Banjir, longsor, pemanasan global…”, tutur Noven dengan penuh kejujuran.
Aku terkesiap. Rupanya dari tadi Noven memikirkan penebangan liar yang semakin merajalela. Hutan adalah sahabatku, kami sama-sama memiliki peran untuk mencegah erosi. Tapi hutan memiliki peran yang lebih besar. Ia mencegah longsor, menyimpan air pada akar-akarnya yang kokoh menghujam tanah, menyegarkan udara sekitar yang tercemar oleh berbgai polusi. Maka, hutan memang harus diselamatkan. Para pelaku penebangan liar harus dihukum berat. Tapi, tapi aku curiga, pasti mereka ada persekongkolan dengan penjaga hutan. Bagaimana mungkin polisi hutan itu tidak tahu ada penebangan liar? Oh, menyedihkan nasib hutan sahabatku.
“Itu memang membuat miris, Noven. Tapi, kita tidak dapat mencegah ataupu menangkap pelakunya. Kini yang bisa kita lakukan adalah memulai dari hal-hal kecil. Menjaga lingkungan sekitar kita, melakukan penghijauan di rumah-rumah kita, dan memsosialisasikan kepada teman-teman agar kita menghijaukan bumi ini”, ucap John menanggapi perkataan Noven.
Noven berdiri, sepertinya ia akan pergi ke ruang HIMA untuk mengikuti rapat.
“Ya, aku berharap sekali pemerintah dapat menangani illegal logging ini dengan bijak dan tegas. Aku tak ingin pohon-pohonku terus terluka. Kita harus menyelamatkan hutan kita! “, seru Noven dengan semangat. Ia sudah mulai tersenyum, tak lagi murung seperti tadi (aku berpendapat ini juga ada hubungannya dengan kehadiran John)
Noven pergi, berjalan di belakang John, dengan jarak yang agak jauh. Mereka tak berbicara apa-apa lagi selama perjalanan.
Kini aku kembali sepi, sementara para ilalang lainnya asyik bercanda dengan angin.
Semoga esok Noven kembali ke sini.
***
Kaulah gadis ilalang
Senyummu melengkung ketulusan
Menyejukkan hamparan jiwa yang gersang
Ada embun yang menggelantung
Pada permukaan jiwamu yang halus
Lewat tarian angin
Kau tebar benih cinta
Pada alam, pada dunia
Aku baru saja menggubah sebuah puisi untuk Noven. Hari ini aku berharap ia datang dan duduk bersamaku. Aku terus menanti hingga sore tiba dan seluruh kampus menjadi sepi karena para mahasiswanya telah selesai kuliah. Tapi Noven tak juga tampak olehku. Apakah ia sedang sibuk?
Aku menghela napas, menghembuskan oksigen ke sekitarku. Ya,aku menghembuskan oksigen, berbeda dengan manusia yang justru menghirup oksigen. Kuperhatikan ilalang-ilalang lain tengah bercengkarama dengan angin. Ada ilalang yang menari, menari bersama putaran angin yang berniat hendak menggodanya. Ilalang-ilalang itu memang mudah sekali terbujuk rayuan angin. Padahal angin sering pergi begitu saja,dan hinggap di pucuk ialalang lainnya.
Ini sudah hari ketiga aku tidak meliaht Noven. Apakah ia telah melupakanku? Bukankah ia sangat menyukaiku?
Daunku mengkerut, bersedih karena Noven kini cuek padaku. Atau, jangan-jangan John, lelaki yang waktu itu datang menghampiri Noven, telah merebut perhatian Noven untukku. Kalau memang begitu, aku mesti mengubur harapan agar Noven sering-sering datang menjambangiku.
Namun aku keliru. Noven masih mengingatku. Siang ini ia datang dan duduk di dekatku. Tapi, kenapa murung lagi? Aku berharap ia tersenyum segera. Apa kabarmu Noven? Kemana saja engkau tiga hari ini?
“Basah!”, kata Noven tepat saat roknya menempel di hamparan ilalang yang telah rebah. Oh iya aku ingat, itu karena hujan semalam yang sangat lebat, dan hari ini mentari betah berselimut di balik awan. Karena itulah bekas-bekas hujan yang menempel di daun kami tak juga kering.
Noven berdiri.
“Noven, kamu kemana? Jangan pergi Noven, aku ingin mendengar ceritamu!”, seruku. Aku berharap kali ini Noven mendengarkanku.
“Basah, aku tak mungkin duduk di sini. Sekarang musim hujan, sejak tiga hari yang lalu hujan turun dengan lebat. Itu yang membuatku sangat sedih belakangan ini”
“Kau tidak menyukai hujan, Noven? Bukankah hujan itu anugerah?”, tanyaku. Bagiku hujan adalah tetes-tetes kesejukan yang mengalirkan cinta dan kerinduan.
“Aku bukannya tidak menyukai hujan, tapi aku sedih melihat banjir dan longsor yang terjadi di kota kita kemarin”
“Apa? Banjir dan longsor?”, tanyaku. Aku kaget sekali mendengar itu.
“Kau tidak tahu ya, kemarin bukit di Andalas itu longsor. Banyak warga yang kehilangan rumah, bahkan ada seorang warga yang meninggal”, ucap Noven dengan nada suaranya yang terdengar sendu. Kemudian aku melihat mendung menaungi wajahnya.
“Inilah akibatnya, ini akibat hutanku yang selalu disakiti. Mereka, para penebang liar itu tidak mempedulikan dampaknya, mereka hanya memikirkan keuntungan pribadi”, Noven terlihat kesal.
“Jadi kemarin engkau sibuk mejadi relawan bagi para korban itukah?”, tebakku. Aku sudah menyangka, gadis berhati lembut itu pasti turun tangan untuk membantu korban-korban banjir dan longsor.
Noven mengangguk pelan.
“Aku turut berduka cita atas kejadian ini. Sekarang engkau jangan bersedih terus ya”, kataku lagi sembari memberikan semangat pada Noven.
Noven tersenyum padaku. Akupun ikut tersenyum.
“Maafkan aku ya, aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus pergi untuk menyalurkan bantuan dari teman-teman mahasiswa kepada pada korban longsor”, ucap Noven sambil merapikan pakaiannya.
“Tidak apa-apa”, kataku. “Aku turut berdoa untuk mereka”
Noven melambaikan tangan padaku seraya melangkah pergi. Aku terus memperhatikan setiap langkahnya. Dan diujung sana kulihat John telah menantinya.
***
(Sabtu, 19 Oktober 2012, 06.00- 07.45 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H