Mohon tunggu...
Ridha Resti Fauzia
Ridha Resti Fauzia Mohon Tunggu... -

\r\n\r\n\r\n" Kesalahan adalah alasan mengapa setiap orang harus belajar :) "\r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Mendidik Anak di Tengah Budaya Kekerasan

19 Juni 2014   23:45 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:05 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa tahun terakhir banyak orang tua mengeluh bahwa saat ini anak-anak` seakan hidup dalam budaya kekerasan. Salah satu yang dikeluhkan orang tua adalah banyaknya film anak di televise menggunakan senjata-senjata yang mudah sekali melukai lawan. Contohnya film Power Rangers, Saras 008, Batrman dan sejenisnya. Film-film ini justru disukai anak anak. Semua adegan film tersebut dilihat anak dengan sangat jeli dan anak “mencerna” setiap kejadian sesuai dengan kemampuannya (yang masih sangat terbatas) untuk memahami arti kekerasan dalam film. Orang tua lebih khawatir lagi karena banyak dijual baju Batman, Saras 008, lengkap dengan senjata mainan yang sangat mudah dibeli. Tentu saja anak menjadi tertarik dan ingin memiliki kostum tersebut disertai dengan perlengkapannya.

Kekerasan Lewat Media Massa

Berita-berita tentang kekerasan di media massa ,belakangan meningkat tajam. Berita nyata yang menayangkan amuk massa, demonstrasi kejahatan dengan penganiayaan, tawuran, dan sebagainya, dimuat baik di televise, surat kabar, tabloid, atau di media massa lainnya. Berbeda dengan kekerasan yang dimunculkan dalam film-film cerita anak sulit sekali mengabstraksi maksud baik di balik berita kekerasan itu. Pada film-film maksud dari kekerasan yang ditampilkan masih terlihat oleh anak (misalnya penjahat yang menembak korban akhirnya pasti tertangkap oleh polisi atau oleh saras 008) karena disampaikan dalam bahasa anak. Pada berita-berita kekerasan yang ditayangkan televise, sasana sering kali menjadi mencekam karena orang tua juga terhanyut dalam berita-berita tersebut dan mengalami kekhawatiran atau ketakutan. Pembicaraan di lingkungan pun tidak disadari mengenai topik seputar itu. Kondisi ini yang akan memperbesar kemungkinan anak melihat kekerasan secara tidak tepat.

Anak-anak yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah, akan lebih mengalami peristiwa traumatis daripada yang menonton televisi. Dalam kondisi seperti ini, sangat mungkin terjadi keterpisahan dari orang tua sehingga anak harus hidup sendiri dan mengalami sendiri kejadian-kejadian yang mencekam kehidupanya, bahkan mengancam dirinya.

Film TV Sarat Kekerasan

Pada usia tertentu (kurang dari 5 tahun), anak belum bisa melihat intensi (maksud) dari suatu perilaku. Hal ini disebabkan karena kemampuan berpikirnya belum matang. Anak baru saja melihat hal-hal nyata yang kasat mata. Anak juga masih mengalami kesulitan untuk melihat hubungan-hubungan antara gejala yang tampak pada usia ini anak juga melihat sesuatu sesuai dengan apa yang ia lihat. Anak mengalami kesulitan kalau harus melihat sesuatu dari sisi orang lain. Kata-kata seperti, “coba bayangkan kalau kamu jadi ibu, apa tidak sedih?” tidak ditangkap oleh anak karena ia masih kesulitan untuk memposisikan diri sebagai ibu. Oleh karena itu anak perlu orang yang dapat menerangkan tentang hubungan antargejala yang terlihat.

Anak perlu orang yang dapat menerangkan maksud dari prilaku kekerasan yang ditayangkan dalam film. Orang yang paling efektif dalam menerangkan hari ini adalah orang tua. Ini menuntut orang tua selalu aktif mendampingi anak yang menonton film TV. Untuk menjelaskan tidak terlalu sulit bagi orang tua, karena film-film tersebut memang diperlukan planet untuk anak-anak dengan alur cerita yang mudah dipahami anak.

Anak kecil tetap membutuhkan penerjemah alur cerita, agar ia tidak mencontoh kekerasannya tetapi justru mencontoh sikap sosial dari tokoh (menolong membantu atau membela kebenaran). Sangat disayangkan jika orang tua bersama anak menonton film TV tapi masing-masing asik dengan dunianya sendiri dan tidak ada komunikasi di antara mereka. Kalau ini terjadi, anak akan menelan mentah kekerasan di TV sesuai dengan kemampuannya menangkap cerita  anak bisa keliru mengartikan kekerasan (misalnya anak menganggap kekerasan sebagai cara yang ampuh untuk menyelesaikan konflik atau untuk mendapatkan sesuatu).

Berita Kekerasan Di TV

Dalam kasus ini,, pasti sulit bagi orang yang menerangkan kepada anak tentang maksud dibalik kekerasan yang dilihat. Orang tua tidak bisa menerangkan bahwa darah yang keluar dari orang yang terkena tembakan adalah darah buatan. Orang tua juga mempunyai kesulitan menerangkan kepada anak bahwa orang yang melakukan kekerasan dalam berita yang ditayangkan mempunyai maksud lain selain kekerasan itu. Karena sifatnya bukan hiburan, maka kejadian-kejadian nyata yang dilihat ini dapat menimbulkan trauma bagi anak.

Kejadian yang dilihat dan trauma yang timbul akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan anak dan bagaimana orang tua atau orang-orang di sekeliling anak bersikap. Menghadapi keadaan ini, orang tua disarankan tidak terhanyut dan tidak panic, agar anak  mempunyai tempat berlindung dari ketakutan melihat kejadian nyata tentang kekerasan dan mempunyai tempat yang aman untuk dapat mengatasi trauma dan kekhawatiran yang mungkin timbul.

Anak yang mengalami trauma memerlukan bantuan untuk sembuh dari pengalaman yang traumatis. Dalam trauma akut anak membutuhkan suatu kepercayaan bahwa segalanya akan kembali normal. Perlu di ciptakan suasana tenang di rumah, segalanya berjalan sesuai dengan kebiasaan dan teratur. Suasana ini akan membantu anda untuk kembali ke dalam kehidupan nyata yang ia alami sehari hari. Orang tua jangan ikut terhanyut oleh berita-berita tersebut dan membawa berita tentang kekerasan dalam diskusi di rumah bersama anak. Anak memerlukan suasana damai, tenang, dan teratur dalam kehidupannya. Kalau ia harus mengalami konflik, maka konflik itu harus sesuai dengan usianya. Misalnya berebut mainan. Pada anak-anak dengan usia tertentu (di atas 5 tahun) orang tua dapat menerangkan tentang kejadian-kejadian tersebut dengan lebih jelas dengan mempergunakan bahasa anak.

Anak di Tengah Lingkungan Keras

Tidak sedikit anak yang hidup dan terlibat dalam lingkungan yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Suasana ini tidak hanya terjadi di Aceh, Ambon atau daerah-daerah konflik saja, tetapi juga di daerah-daerah keras di mana orang menggunakan cara kekerasan untuk bertahan hidup.

Hal ini akan lebih sulit daripada kondisi pertama dan kedua karena dalam situasi ini kekerasan menjadi bagian hidup dari anak dan orang tua itu sendiri. Meskipun ini sangat sulit, tetapi orang tua dituntut untuk tetap bersikap “sehat”, jika tidak menginginkan anaknya juga hidup dalam suasana dan sikap keras.

Pendampingan Orang Tua

Menghadapi kenyataan seperti ini orang tua dituntut bersikap sehat dan tepat. Dalam peta social anak, orang tua adalah tempat dimana bisa mendapatkan keamanan. Orang tua adalah orang yang dapat mengatasi segala masalah yang dihadapi anak. Karena itu orang tua secara umum harus aktif mendampingi anak, mampu membaca suasana hati dan pikiran anak, dan tidak terhanyut oleh film atau berita-berita di TV. Beberapa hal yang dapat dilakukan:

1.      Bantulah kami untuk mengembalikan kehidupan dalam suasana rutin dan teratur. Waktu mandi makan setelah tidur dan sebagainya tepat dalam situasi normal dan teratur dalam pendampingan orang tua yang tidak mengalami ketakutan dan tidak melakukan kekerasan. Dengan demikian anak merasa yakin dan aman karena orang tua memberikan rasa aman sesuai dengan yang dibutuhkan anak.

2.      Anda memerlukan penjelasan tentang kejadian-kejadian kekerasan. Penjelasan ini harus cocok dengan usia anak dan disampaikan dalam bahasa anak agar ia dapat menangkap maksudnya. Orang tua disarankan untuk merespon ketakutan dan kekhawatiran anak secara bijaksana sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan sikap yang menentramkan, agar anak tetap merasa aman di dalam naungan orang tua. Jangan panik, sebab kepanikan ini akan dibaca oleh anak dan ia akan bertambah panik pula.

Referensi:

J.I.G.M. Drost, S.J. dkk. (2003). Perilaku Anak Usia Dini Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta: Kanisius

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun