Kemiskinan marak bertaburan tak selang satu kilometer dari tempat konglomerat berkuasa. Siklus hidup serba kejam, serba tak berpihak pada kaum termarjinalkan, namun seolah jadi jalan tol bagi penguasa serakah. Seolah tak ada lagi yang peduli pada yang tertindas. Yang kaya menyabet setiap peluang tak peduli siapapun yang terjagal, yang miskin tertatih berjuang sendiri mencari peluang agar bisa tetap menyambung nyawa. Akibatnya, yang kaya tambah kaya jadi konglomerat, yang miskin tambah miskin jadi melarat.
Ironisnya, fakta tak terbantahkan ini terjadi di negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia: Indonesia. Pernahkah kita membayangkan kehidupan yang dipenuhi dengan aktivitas saling berbagi tanpa kesenjangan sosial mencolok yang menciptakan ketidakpedulian pada sesama di negeri ini? Melihat banyaknya ketidakterkontrolan terhadap banyak hal di negeri ini, mungkin bayangan itu sekejap sirna sudah. Entah apa lagi yang bisa diharapkan untuk menjadi solusinya.
Namun, bayangan itu sebenarnya bukan sekadar bisa menjadi angan mustahil sang pungguk yang merindu bulan semata. Masih ada yang bisa diharapkan menjadi jalan keluar ini semua, sesuatu yang sebenarnya sudah dikenal oleh mayoritas penduduk di negeri ini sendiri: zakat.
Sejara Islam pernah membuktikannya. Tinta emas masa kejayaan Islam mencatat bahwa pada suatu masa, setelah mengumpulkan zakat di benua Afrika atas perintah Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Sa’id bahkan sampai tak berhasil menemukan seorang pun yang mau menerima zakat tersebut. Tak diragukan lagi, pada saat itu pemimpin mereka telah berhasil membuat mereka semua berkecukupan. Pemimpin mereka melakukan suatu hal yang ternyata berdampak sangat signifikan bagi masyarakatnya, yakni mengoptimalkan zakat. Penunaian zakat oleh masyarakat yang berkewajiban jelas sekaligus menjadi penanda bahwa mereka sejahtera. Sementara itu, pendistribusian zakat bagi yang berhak menerimanya jelas memberikan kesejahteraan bagi mereka yang membutuhkan. Inilah yang membuat kesejahteraan merata bagi seluruh lapisan masyarakat di sana saat itu.
Zakat bukanlah sedekah sukarela yang sekadar dianjurkan bagi yang terketuk. Kedudukan zakat dalam Islam bahkan ditempatkan dalam salah satu rukun Islam, dan ini artinya hukum zakat adalah wajib. Ayat-ayat perintah shalat pun kerap diikuti dengan perintah zakat. Tak hanya mewajibkan, Islam juga mengatur peraturan zakat dengan amat baik sehingga berpihak pada semuanya yang membutuhkan, tanpa mempersulit atau membuat yang memberikannya jatuh miskin.
Tidak semua harta wajib dikeluarkan zakatnya. Setidaknya ada enam syarat harta akan dibebankan kewajiban dizakatkan. Syarat pertama, harta tersebut haruslah milik sendiri dan tidak berkaitan dengan orang lain. Selain itu, harta tersebut juga bisa berkembang atau dikembangkan. Harta juga baru wajib dizakatkan bila telah mencapai nishab, yakni unta lima ekor atau lebih; kambing empat puluh ekor atau lebih; sapi tiga puluh ekor atau lebih; perak dua ratus dirham atau sama dengan 59 gram; emas 85 gram atau lebih; buah-buahan, biji-bijian, dan hasil pertanian lainnya sekitar 653 kg. Syarat berikutnya adalah harta benda tersebut harus sudah melebihi untuk memenuhi kebutuhan primer. Harta benda tersebut pun harus terhindar dari hutang. Terakhir, harta benda tersebut sudah dimiliki selama setahun.
Ringannya zakat dalam ketentuan Islam sesungguhnya membuatnya amat mudah untuk dijalankan. Apalagi jika kita semua menyadari bahwa zakat yang dibebankan dengan ringan itu pun tetaplah memiliki potensi yang mencengangkan. Potensi zakat di Indonesia sendiri sangatlah besar, mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Menurut data dari Badan Amil Zakat Nasional (BazNas) dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi zakat terbesar di Indonesia dengan mencapai 17,67 triliun rupiah, disusul oleh Provinsi Jawa Timur sebanyak 15,49 triliun rupiah dan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 13,28 triliun rupiah. Bahkan, untuk provinsi dengan proporsi pennduduk muslim terendah di Indonesia, yakni Provinsi Bali dengan mayoritas beragama Hindu serta Provinsi Papua Barat dan Papua dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen, potensi zakatnya masing-masing mencapai angka 126,25 miliar rupiah, 117,44 miliar rupiah, dan 111,68 miliar rupiah. Sementara itu, NTT yang proporsi pennduduk muslimnya hanya sebesar 8,6 persen, potensi zakatnya lebih tinggi dibandingkan dengan potensi zakat yang terdapat di Provinsi Bali, Provinsi Papua dan Papua Barat, yakni mencapai 133 miliar rupiah.
Perlu diketahui bahwa jumlah mencengangkan itu baru potensi zakat rumah tangga. Angka fantastis ini belumlah termasuk hitung-hitungan potensi zakat industry menengah dan besar nasional, serta zakat BUMN, dan potensi zakat tabungan secara nasional. Menurut BazNas dan FEM IPB, jika diagresikan, nilai potensi zakat secara nasional dapat mecapai angka 217 triliun rupiah atau setara dengan 3,4 persen dari total PBD.
Sayangnya, seperti yang dipaparkan DR. Abdullah Nashih ’Ulwan dalam bukunya Panduan Lengkap dan Praktis Zakat dalam Empat Madhzhab: Intisari Fiqhuz Zakat DR. Yusuf Qaradhawi, sebuah riset lain justru memaparkan bahwa pengumpulan zakat yang terdata melalui lembaga pengelola zakat hanyalah sekitar 1,3 persen dari potensi zakat yang ada di Indonesia. Padahal jika zakat dioptimalkan seluruh potensinya, negeri ini tak diragukan lagi akan mampu memberantas kefakiran, kemiskinan, kebodohan, sampai menjamin kesejahteraan sosial masyarakatnya. Tak hanya itu, berbagai permasalahan di negeri ini juga tak menutup kemungkinan teratasi dengannya. Aktivitas zakat sendiri merupakan pertanda bersemainya empati manusia kepada sesamanya. Melalui hal ini saja telah tampak bahwa zakat bukan hanya bisa menjadi solusi bagi persoalan ekonomi bangsa, melainkan juga menyentuh persoalan yang dekat dengan hati.
Ketersentuhan ini amat terasa ketika membicarakan delapan golongan yang diatur oleh Islam sebagai golongan yang berhak menerima zakat seperti yang disampaikan DR. Abdullah Nashih ’Ulwan dalam bukunya Panduan Lengkap dan Praktis Zakat dalam Empat Madhzhab: Intisari Fiqhuz Zakat DR. Yusuf Qaradhawi. Golongan pertama dan kedua adalah kaum fakir dan miskin. Menurut penjelasan DR. Abdullah Nashih ’Ulwan yang merujuk pda mahzhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki, siapa yang mempunyai harta yang jenisnya wajib dizakati dan mencapai nishab atau lebih, namun harta itu ternyata tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, ia justru berhak menerima zakat. Ini adalah bukti bahwa Islam tidak ingin membuat keadaan umatnya justru menjadi semakin sulit karena adanya kewajiban zakat.
Golongan ketiga adalah amil zakat. Amil zakat dibayar profesional dari hasil zakat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat sejatinya merupakan tugas penting pemerintah yang harus digarap dengan serius dan profesional. Tentu saja, amil zakat sendiri memiliki sejumlah zyarat kualifikasi yang harus dipenuhi, yakni seorang muslim, mukallaf, dapat dipercaya, mengetahui hukum tentang zakat, dan memiliki kredibilitas dalam menjalankan tugasnya.
Islam juga memasukkan mualaf atau orang yang dilunakkan hatinya sebagai golongan yang berhak menerima zakat. Bahkan menurut pendapat Jumhur ulama fiqih, orang yang dilunakkan hatinya boleh menerima zakat meskipun mereka adalah orang kafir. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dengan zanad shahih dari Anas ra, ia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah diminta sesuatu atas nama Islam kecuali beliau akan memberikannya.” Ini sesuai dengan adanya pembagian orang-orang musyrik ke dalam tiga golongan, yakni golongan yang mungkin kembali karena bukti kebenaran; golongan yang mungkin kembali karena paksaan dan perang; serta golongan yang mungkin kembali karena pemberian dan kebaikan.
Golongan kelima yang berhak menerima zakat adalah hamba sahaya. Era modern bukan berarti lepas dari perbudakan. Dewasa ini, Indonesia justru tengah mengalami permasalahan serius mengenai TKI yang bekerja sebagai pekerja domestik di luar negeri, khususnya di Negara Islam seperti di Arab Saudi. TKI diperlakukan seperti budak belian oleh majikannya. Masalah ini bahkan telah merambat ke masalah hukum. Tak sedikit TKI yang terancam dan hanya bisa dibebaskan dengan tebusan sejumlah uang sebagai syarat pembebasannya. Bisakah zakat menangani hal ini? Jawabannya sangat bisa. Ibnu Habib bahkan berpendapat bahwa pembebasan tahanan atau tawanan dengan menggunakan harta zakat adalahboleh. Dalam kasus ini, jika ada kaum muslim Indonesia yang tertahan, apalagi sebagai budak, yang harus ditebus dengan sejumlah uang untuk membebaskannya, zakat dapat menjadi solusi bagi mereka. Tak berhenti sampai di penebusan saja, zakat dapat didistribusikan kepada mereka guna memperbaiki kesejahteraan hidup mereka jika memang nyatanya harta yang mereka miliki tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan primer mereka dan tanggungan mereka.
Zakat juga bisa menjadi solusi bagi al gharimun atau orang yang berhutang sebagai golongan keenam yang berhak menerima zakat. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu ja’far ra, ia berkata, “Orang yang berhutang dengan tidak menghambur-hamburkannya, maka Imam atau pemerintahan berkewajiban membayarkan hutangnya dari Baitul Mal.”
Golongan ketujuh adalah fi sabilillah atau orang yang sedang berjuang di jalan Allah. Menurut kesimpulan DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan, zakat diberikan berdasarkan kebutuhan yang diperlukan dalam perjuangan dengan berbagai macamnya dan berdasarkan kebutuhan semua pembiayaan yang lain baik yang kuat maupun lemah di sisi yang lain.
Golongan terakhir adalah ibnu sabil atau orang yang sedang dalam perjalanan. Zakat menjadi solusi bagi ibnu sabil yang membutuhkannya untuk mengantarkannya kembali ke negaranya dengan syarat kepergiannya bukanlah untuk kemaksiatan dan ia memang tidak menemukan orang yang mau memberikan pinjaman kepadanya dengan keadaannya saat itu.
Demikian banyaknya zakat menjadi solusi bagi permasalahan umat. Demikian pula besarnya potensi zakat bila dioptimalkan. Ini jelas merupakan harapan, bahwa kita bisa mempertemukan segenap permasalahan bahsa ini dengan solusi dari agama rahmatan lil ’alamin ini. Oleh sebab itu, marilah kita berbenah melalui zakat, dan kejayaan Islam dan Indonesia akan siap disongsong di hadapan. Wallahu a’lam.
Sumber:
http://www.baznas.or.id/ind/?view=detail&t=berita&id=20110609001
’Ulwan, DR. Abdullah Nashih. 2008. Panduan Lengkap dan Praktis Zakat dalam Empat Madhzhab: Intisari Fiqhuz Zakat DR. Yusuf Qaradhawi. Jakarta: Gadika Pustaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H