"Kamu jangan egois, Ri. Aku yang berhak menentukan jalan hidupku akan menuju ke mana. Masih banyak wanita lain di luar sana, yang mungkin itu adalah jodohku." Aku terhenyak. Mempertahankan yang telah mati-matian dijaga. Apakah bisa disebut diri ini egois?
Hati telah hancur berkeping-keping. Kenangan dengannya terus berputar di ingatan, menambah sesak dan kelukur pada diri.
"Baik. Kalau menurutmu aku egois, berarti selama ini diriku hanya mencintai sendirian. Berjuang sendirian." Aku meremas kuat ponsel hingga terasa sakit di tangan yang gemetar.
"Pergilah, Ar. Raih bahagiamu yang tidak dengan diri ini. Aku melepasmu,. Walau jujur, ini menyakitkan sekali buatku." Kujadikan bantal untuk meredam tangis, menutupi wajah yang penuh gurat terluka.
Aku kembali mengangkat wajah, lantas mencoba tersenyum. Meski kutahu Ardi takan bisa melihatnya. Menetralkan suara agar dia percaya, bahwa aku mampu baik-baik saja.
"Terima kasih, Ar. Aku tidak menyesal telah mengenalmu. Yang kusesali adalah, mengapa harus mencintai sebegitu dalam? Terima kasih untuk kisah indah kita yang takkan terganti. Terima kasih juga untuk telah menyadarkanku dari keegoisan ini."
Aku tidak kuat untuk mendengar suara Ardi lagi. Segera aku memutuskan sambungan telepon dan kembali membenamkan wajah di balik bantal, lantas menangis di sana.
***
Lima bulan berlalu, tapi sakitku  masih belum juga sembuh. Hatiku patah hingga remuk redam. Menangis sebelum tidur kini menjadi rutinitas, sembari mengenang banyak memori bersama dirinya yang telah berlari pergi.
Seminggu yang lalu aku mendapat pesan dari Ardi, undangan pernikahan. Bukan. Bukan hanya karena dia telah menemukan pengganti dan memulai kehidupan baru yang membuat diri ini remuk, tapi karena gadis itu adalah Dira, sahabatku. Sosok yang selalu menguatkan di kala diri tertatih menyembuhkan hati.
Ingin aku berlari sekencang-kencangnya, sejauh yang kubisa. Menghilang dari masa lalu, berteriak dan bertanya pada hujan. Mungkinkah luka ini mampu pulih?