Itulah penggalan kalimat yang kuingat. Sering sekali ayah menyebut kalimat yang terakhir itu ketika memarahiku. Seribu kalimat itu tak mampu menyadarkanku dari kecanduan bermainku. Hingga tibalah disuatu hari, ketika aku membutuhkan banyak ilmu. Membutuhkan banyak buku untuk kubaca, bukan kubakar.Â
Ya, aku terjatuh dari segala kesenangan bermainku. Sakit sekali rasanya. Seperti mendaki gunung lalu melangkah keawan lalu dijatuhkan awan gelap bersama banyak rintik hujan. Â Saat itu juga aku ingin sekali menarik segala masa bermainku itu, dan ingin kuganti dengan segala macam buku dan ilmu. Dunia, dunia. Aku harus sadar dunia ini tidak menyuguhkan mimpi tanpa perjuangan, dunia ini tidak menyuguhkan pesona tanpa usaha. Ingin melihat bagaimana bumi terhampar, namun tak mau mendaki gunung. Ada gambar namun terasa hambar, tak berasa nikmat ketika sudah dipuncak.
Penyesalan itu membawaku atas kesadaran yang harusnya tumbuh di jauh-jauh hari. Penyesalan itu membawa luka atas pembunuhan yang dilakukan waktu kepadaku. Sebenarnya waktu tak kan membuhku jika saja aku berbaik kepada masa depanku-kala itu-.
Aku sadar, sederas apapun tangisku tak kan mungkin menggantikan air di sungai brantas. Dan tak kan mungkin mengubah air kotor menjadi air bersih, atau memenuhi kebutuhan air bersih di daerah timur sana. Maka dari itu, karena sesalku ini belum terlalu terlambat sehingga aku masih diizinkan masuk kelas sama guru BK. Dari sesal ini aku harus bisa membayar segala kekurangan ilmu dan bukuku. Walau ngebut dan banyak mblayer-mblayer, aku harus berproses dan terus berjuang.
Nah, inilah kisah sesalku yang sangat mendalam. Jangan pernah coba-coba karena hal ini tidak untuk dicoba. Aku menulis, karena keprihatinanku atas masih banyak anak yang sangat masa bodoh dengan masa mudanya. Mungkin tulisan ini amat bodoh atau tidak penting bagi kalian. Tapi ini sangat penting bagiku, karena aku sayang kalian.Â
Cukup sekian cerita dariku, karena aku kebelet pipis. Beruntunglah hanya kebelet pipis, kalian setelah baca ini jangan kebelet nikah karena nggak nyambung. Ilmu dan buku tetaplah nomor satu, kalau yang kebelet nikah taruhlah di nomor dua. Karena nikah itu juga butuh ilmu, biar nggak nikah cerai nikah cerai. Udah ya, selamat kebelet. (Kebelet cari ilmu dan buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H