Mohon tunggu...
rdnsh
rdnsh Mohon Tunggu... Akuntan - Art lover

Salam kenal, semoga hari-hari anda menyenangkan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Dugaanku

14 Agustus 2019   19:49 Diperbarui: 15 Agustus 2019   14:40 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hampir sepuluh bulan lamanya, aku menghabiskan waktuku dalam rumah. Amarah, putus asa, rasa benci pada tuhan, rasa benci pada diri sendiri sudah tertanamkan dalam diriku. Aku berpikir, untuk apa aku keluar rumah? Untuk apa aku bersosialisasi dengan orang sekitar? Untuk apa aku melakukan terapis? Apabila penyakit kanker ini tetap tinggal dalam tubuhku. Satu hal, aku tidak percaya akan keajaiban. Begitupula dengan Tuhan.

Selama hampir sepuluh bulan aku mempekerjakan seorang perawat dirumahku. Tentunya untuk mengurusi diriku yang tidak berdaya ini. Keseharianku hanyalah berbaring di tempat tidur, menonton acara televisi, makan, dan melakukan pengobatan. Aku sudah tidak memiliki rambut. Kerontokan ini membuatku harus mencukur rambutku hingga habis. Akan tetapi perawatku tetap patuh mengurusiku. Meskipun aku tidak memiliki rambut, dia tetap saja memijat dan mengeramasi kulit kepalaku. Tapi terkadang aku menepis tangannya agar tidak terlalu sering untuk melakukan hal seperti itu. Namun dengan patuh dia menuruti kata-kataku sambil tersenyum. Rasanya sungguh menyebalkan. Dia itu sehat. Dan aku tidak. Mengapa aku selalu tersinggung apabila dia melakukan pijitan atau mengeramasi kulit kepalaku?

Aku tidak membencinya, hanya saja rasa amarah ini seringkali meluap ketika perawatku melakukan segala sesuatu. Anehnya, dia selalu tersenyum dengan bentakan-bentakan yang keluar dari mulutku ini. Apakah dia tertawa dalam hati? Apakah dia mengasihaniku? Banyak pertanyaan muncul dalam benakku. Seringkali suamiku menasihatiku untuk tidak terlalu keras pada perawatku. 

Aku mengerti, perawatku tidak melakukan kesalahan sama sekali. Namun entah mengapa aku seringkali kesal melihatnya. Mungkin aku berpikir bahwa tuhan benar-benar tidak adil. Usiaku yang masih 32 tahun sudah terkena kanker sedangkan dia tidak. Usianya yang sudah tua renta namun kondisinya sangatlah bugar. Kulihat dia mampu mencuci piring dengan cepat, mengangkut jemuran dengan kuat, dan hal berat lainnya. Intinya, usianya tidak sama dengan fisiknya. Terbilang fisiknya sangatlah baik.

Hari itu aku menunggu perawatku yang belum juga datang. Biasanya, dia sudah stand by didapur untuk menyiapkan sarapanku namun kali ini tidak. Sudah satu jam lamanya perawatku belum juga datang. Apakah diam-diam dia melarikan diri dari pekerjaan ini? Bahkan aku sudah menggajinya kemarin. Akhirnya kutunggu hingga sore hari dan perawatku tidak kunjung datang.

Tidak lama, suara telepon rumah berdering. Suamiku langsung mengangkat teleponnya dan memberitahuku bahwa perawatku itu sedang ada urusan. Sehingga dia tidak bisa datang kerumah hari ini. Cih, menyebalkan. Gaji mingguan sudah kuberikan! tapi dia tidak meminta izin terlebih dahulu! pikirku dalam hati.

Keesokan harinya perawatku datang sangat pagi. Mungkin dia merasa bersalah bahwa kemarin dia tidak izin terlebih dahulu untuk tidak datang. Seperti biasa, dia menyiapkan sarapanku dan bersih-bersih rumah. "Bu, apakah mau saya pijat kepalanya?" tanya perawatku sambil tersenyum. "Tidak, tidak usah. Lebih baik kamu ceritakan, mengapa kemarin kamu tidak datang? Kamu tahu kan, saya ini sedang sakit, dan saya membutuhkan kamu untuk mengurusi saya. Apakah uang yang saya berikan kemarin tidak cukup?" tanyaku kesal. Kulihat dia menghampiriku dan duduk dilantai. Dia menunduk, dan sepertinya dia ingin berbicara sesuatu namun tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Ada apa? Kenapa tidak jadi beri jawaban?"

"Maaf bu, kemarin saya ada perlu,"

Hanya itu? Alasan macam apa itu? 

"Lain kali tolong izin terlebih dahulu Mbok! Mbok tau sendiri kan, kalau mas Fajri sibuk kerja!"

"Maaf bu,"

Kutatap dia dengan sinis. Aku kembali kekamar dan berbaring dikasur. Lalu dia menghampiriku dan menawariku sarapan namun aku menolaknya.

Keesokan harinya perawatku tidak datang lagi. Seperti biasa, dia tidak memberi kabar padaku. Padahal hari ini jadwalku untuk pemeriksaan ke rumah sakit. Biasanya perawatku yang mengantarkanku ke rumah sakit. Akhirnya aku meminta suamiku untuk pulang lebih cepat agar bisa mengantarku ke rumah sakit.

Setibanya kami di rumah sakit, aku dan suamiku menuju bagian administrasi. Setelahnya aku langsung menemui dokter Vian. Dia ada dokter spesialisku. Setelah melakukan seluruh pemeriksaan, akhirnya aku dan suamiku pulang. Dokter Vian menyarankan kami untuk mengambil hasil pemeriksaan dalam dua hari kedepan.

Sudah tiga hari sejak aku melakukan pemeriksaan, perawatku masih saja tidak ada kabar. Amarahku mulai memuncak. Aku dan suamiku mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban. Pada akhirnya, suamikulah yang mengantarkanku lagi ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaanku.

"Hah?" aku dan suamiku saling memandang. Kedua tanganku mulai bergetar. Kakiku mulai melemas. Jantungku berdegup kencang saat itu. Aku tidak dapat mengontrol ekspresiku. Yang jelas aku dan suamiku benar-benar tidak mempercayai hal ini.

"Gak mungkin dok! Dokter bercanda?" tanya suamiku sambil mendekatkan dirinya pada dokter Vian. Aku terdiam kaku. "Apakah hasil pemeriksaan ini terlihat sebuah candaan? Ibu Viona sudah sembuh dari kanker. Tidak ada jejak kanker dalam tubuhnya. Meski masih harus melakukan perawatan rutin, namun saya tidak menemukan adanya kanker di tubuh Ibu Viona. Sejujurnya saya kaget dan takjub. Kanker stadium tiga tiba-tiba hilang.." dokter Vian tidak melanjutkan penjelasannya. Kulihat dokter Vian terdiam. "Bersyukurlah pada Tuhan, hanya karena-nya lah penyakit kanker anda sembuh," lanjut dokter Vian pelan. Aku masih dalam diamku. Aku menatap hasil pemeriksaanku dan memang benar apa kata dokter Vian. Suamiku memelukku erat. Tanpa kusadari air mataku mulai membasahi pipiku. Mungkin hari itulah hari paling bahagia bagi kami.

Malam harinya kami mendapat kabar. Perawatku, dia meninggal dunia. Anak perawatku memberi penjelasan bahwa selama ini sang Ibu menderita leukimia. Benar, bahwa perawatku ke rumah sakit saat tidak datang kerumahku. Namun satu hari menjelang kematiannya, perawatku drastis melemah. Sang anak menangis saat memberikan penjelasan lewat telepon. Lalu aku termenung dalam lamunanku. Hatiku yang awalnya bahagia, berubah sekejap menjadi gelisah. Baru kali ini aku merasakan sakit hati yang sangat dalam. Sekujur tubuhku lemas. Tanpa kusadari aku sudah berada diatas kasurku. Berbaring dan menatap sekitarku. Suamiku memelukku erat. Aku menangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku merasa bahwa suamiku mengerti apa maksudku.

Pagi itu sejuk dan cerah. Cahaya mentari mulai menyinari kulitku. Aku mulai melangkah keluar untuk menghangatkan diriku dibawah sinar mentari pagi. Aku menghela nafas panjang. Sungguh, udara yang sangat sejuk.

Sungguh, saat ini hatiku sakit. Bahkan selama ini aku tidak dapat mengingat nama perawatku. Selama ini aku menduga bahwa perawatku lebih sehat dariku.

Aku menduga bahwa perawatku tertawa dibelakangku.

Aku menduga bahwa perawatku kasihan akan penyakitku.

Aku menduga bahwa Tuhan itu tidak adil.

Aku menduga bahwa keajaiban itu tidak ada.

Aku merasa bahwa dirikulah yang terlemah.

Aku tidak menyadari akan sekitarku, bahkan perawatku.

Air mataku membasahi pipiku. Aku menangis seorang diri. Dibawah sinar mentari pagi yang hangat. Dan aku merasa menyesal. Akan semuanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun