Saya pernah bertanya pada orang asli Papua yang sedang belajar di Malang, Jawa Timur. "Pak Edison, apa orang-orang asli Papua suka makan kerupuk?" "Ya!" Jawabnya. "Tetapi orang Papua membeli dari orang luar Papua yang membuatnya."
Tidak hanya orang Papua asli. Orang Aceh pun, bagian paling barat negeri ini, juga sangat suka dengan yang namanya kerupuk ini.
Saat saya ke Bali, kerupuk sangat umum dijajakan di warung-warung. Ke Jakarta juga demikian. Bandung tidak terkecuali. Semarang, Jogyakarta, Solo, Surabaya, Kalimantan, hingga Sulawesi. Semuanya suka Kerupuk.
Bedanya dengan orang Aceh, kerupuk di rumah kami, di Sigli, tidak disajikan saat makan utama, siang atau malam. Namun untuk snack. Sedangkan sepanjang pengetahuan saya saat di Jawa, kerupuk, selain snack, selalu jadi teman setia saat makan tiba. Jika tidak ada, kemungkinan besar ada yang bertanya, :"Mana kerupuknya?"
Ada apa sebenarnya?
*****Â
 Menurut Fadly Rahman, sejarahwan kuliner, kerupuk sudah ada di Jawa sejak abad ke-9 atau ke-10. Di Wikipedia tercatat, dalam prasasti Batu Pura, kerupuk rambak, yang mengacu pada kerupuk terbuat dari kulit sapi atau kerbau, dari zaman dulu hingga kini masih ada, sebagai contoh kerupuk yang bahan dasarnya kulit sapi atau kerbau. Sesudah itu berkembang dan berkembang aneka macam kerupuk.
Di depan rumah, setiap hari penjual kerupuk mondar-mandir dari pagi sekitar pukul 6 hingga pukul 9. Membonceng dua buah rombong besar di sebelah kanan dan kiri, ada yag menggunakan sepeda motor, ada yang sepeda ontel.
Sedemikian besarnya rombong kerupuknya, hingga jika dilihat dari belakang, yang tampak hanya kerupuk berjalan. Dari samping, kayak angka sepuluh. Karena yang membonceng kurus, seperti angka satu, yang diboceng kayak angka nol.
*****Â