Anyway...
Ada hal menarik terkait karakter atau watak orang Indonesia dan orang-orang Arab di Timur Tengah terkait ini. Di satu sisi, kita memiliki karakter yang sama, yakni sepertinya pengemudi yang suka ngebut ini memang 'tidak takut' dengan yang namanya 'kematian'. Di Arab atau Indonesia sama saja. Bedanya, orang Arab tidak takut 'mati' apalagi sekedar denda. Â Kita, juga tidak takut ancaman kematian
Buktinya, lihat saja rokok. Dulu, di iklan-iklan rokok hanya tertulis 'Rokok membahayakan kesehatan'. Ternyata rokok masih laku keras. Kemudian Pemerintah mengubah dengan kalimat 'Rokok mematikan'. Nyatanya jumlah perokok tidak malah berkurang. Ini bukti bahwa kata 'mematikan' tidak menjadikan kita takut, apalagi jerah. Â Coba misalnya merokok didenda, pasti berkurang jumlah perokok di sembarang tempat.
Itulah anehnya. Orang kita memang lebih takut denda.
Awal tahun ini, saat saya ke Kantor Pajak di Malang, pada bulan Maret, tepatnya minggu-minggu terakhir batas pelaporan pajak, begitu ramai dan padatnya para pelapor pajak. Dugaan saya, sekali lagi masih dugaan saja karena belum saya teliti. Orang-orang ramai lapor pajak ini karena takut didenda apabila terlambat. Demikian juga antrian panjang pembayaran pajak kendaraan. Umumnya kita menunggu sampai hari terakhir, lantaran takut kena denda.
Intinya, orang kita sebenarnya lebih takut denda dari pada mati.
Usulan saya adalah, kenapa tidak kita pasang Radar dengan system digital denda yang langsung masuk SMS pengemudi 5-10 menit sesudah melanggar kecepatan. Jumlah dendanya bergantung kepada kecepatannya. Misalnya jika batas kecepatan 100 km/jam kemudian kecepatan pengemudi 120 km/jam, dikenakan denda Rp 500 ribu. Jika 140 km/jam dikenakan Rp 1 juta. Pengemudi otomatis tidak bisa keluar tol sebelum membayar di gerbang keluar.
Sepertinya konyol ide ini dan tidak praktis. Terkesan ribet. Tetapi ini masih jauh lebih sederhana dari pada ribetnya ngurusi kecelakaan dan mayat korban kecelakaan.
Makassar, 6 November 2021
Ridha Afzal    Â