Saya masih ingat bagaimana dulu ketika Pak Harto sedang berkuasa. Hanya ada dua partai politik yang boleh ada, yakni PPP dan PDI. Selama 30 tahun nyaris tidak ada yang berani menyaingi the Smiling General. Â
Saya tidak tahu pasti, apakah itu kehendak beliau, atau permitaan orang-orang terdekatnya yang tidak ingin kepentingannya terusik. Yang pasti, selama Presiden Kedua RI berkuasa, orang yang disebut sebagai salah satu orang terkuat di dunia secara politik ini, menuai banyak pro kontra.
Tidak ada yang menolak kenyataan bahwa selama Pak Harto menjabat presiden dari tahun 60-an, 'tidak ada' yang berani mengusik. Tanpa 'konflik'. Tidak pernah terjadi pelecehan agama, bullying presiden, harga-harga sembako stabil, Rupiah kuat, petani makmur, sekolah murah, tidak ada preman dan segudang prestasi yang membuat beliau dijuluki Bapak Pembangunan. Namun tidak sedikit yang merasa gerah, karena secara politik tidak bebas. Oleh sebab itu, tragedi 1998 tidak terelakkan. Untungnya, beliau mundur dengan hormat.
Well guys....
Organisasi kita ini, PPNI, bukan sebuah negara yang saat ini sedang dipimpin oleh seorang sekelas Soeharto. Membandingkan Pak Harif Fadillah (HF) dengan Pak Soeharto, itu bukan Apple to Apple. Bahkan tidak bisa kita bandingkan dengan Annette Kennedy sebagai pimpinan tertinggi ICN yang asli Irlandia. Akan tetapi, perhelatan Munas X di Bali yang berujung dengan hanya satu orang kandidat lantaran Pak Edy Wur (EW) mundur, menyisakan sejuta tanda tanya.
Why? Â
Saya dengar bisik-bisik dari rekan dekat yang ada di Bali semalam bilang, suara yang masuk untuk HF sekitar 70%. Apa benar? Wallahu a'lam. Kalaupun benar, kita tidak tahu mengapa sosok sekelas EW mundur.Â
Seharusnya tetap dihadapi secara jantan tidak masalah. Anything can happen? I don't think Mr. HF is happy with this! Saya tidak yakin HF 'senang' dengan kondisi seperti ini.
Munas yang dihadiri oleh lebih dari 1000 perawat Indonesia jadi terkesan sunyi, sepi, tanpa pertarungan, tanpa kompetisi sehat dari calon-calon Ketum. Mestinya tidak terjadi demikian.Â
Kita hidup di era demokrasi seperti ini. Sejuta lebih perawat Indonesia, masak tidak ada yang pantas bersaing duduk, berdebat, berargumentasi di depan panggung bersama HF? Seolah olah era Orde Baru (ORBA) terulang. Sungguh menyakitkan hati profesi.