Mulanya saya tidak pernah mimpi untuk jadi seorang perawat. Besar dari keluarga sangat sederhana di sudut kota Magelang, Jawa Tengah, lulus SMA, kami tidak punya dana untuk melanjutkan kuliah lagi. Akhirnya, apapun kerjaan akhirnya saya lakukan yang penting menghasilkan duit halal.Â
Kadang malu juga, karena setiap ketemu orang yang saya kenal, mereka bertanya, "Ongky kuliah di mana?". Sementara teman-teman seangkatan SMA pada kuliah semua, dan saya hanya kerja asal-asalan.
Pada suatu malam saya mimpi kerja di luar negeri sebagai perawat. Itu terjadi sesudah saya salat Tahajud sebagaimana anjuran Ibu. Mungkin ini pertanda bahwa garis hidup saya nanti akan menjalani profesi sebagai perawat.Â
Esok harinya, tanpa banyak pertimbangan, saya langsung daftar di Kampus Muhammadiyah Magelang, tempat saya kuliah jenjang pendidikan diploma keperawatan.Â
Kuliah saya tertunda setahun karena kesulitan dana ini. Saya jalani proses perkuliahan sebagaimana layaknya mahasiswa. Saya tidak memiliki prestasi cemerlang, tidak juga di level bawah. Yang penting lancar kuliah, itu sudah cukup bagi saya.Â
Satu hal yang tetap ada dalam pikiran adalah mimpi yang saya sebutkan di atas. Rasanya begitu erat melekat dalam diri ini, sehingga kerja di luar negeri sepertinya harga mati.
Lulus kuliah lalu wisuda, saya memburu kerja di luar negeri. Waktu itu tahun 2017, meski berbekal nol tahun pengalaman, saya tetap antusias memburu peluang kerja ke luar negeri.Â
Dari satu PT ke PT lain, dari satu pelatihan ke pelatihan lain. Entah sudah berapa puluh juta Rupiah saya habiskan untuk mondar-mandir keluar masuk lembaga. Dan yang jelas saya tidak kapok.
Brunei.Â
Ketika artikel ini ditulis, saya baru saja balik dari Malang sepulang dari Bali, bersama seorang teman, untuk sedikit plesir sesudah cukup penat bekerja diSaya baru tiba dari Brunei Darussalam bulan lalu. Berangkat ke Brunei awal tahun 2019 silam. Rencananya sesudah cuti ini akan balik lagi ke Bandar Seri Begawan tanggal 20 Maret ini.
Di Malang, saya mampir ke tempat pelatihan kami dulu di Indonesian Nursing Trainers. Di sana, bersama Mr. Syaifoel Hardy, kami diberikan pembekalan tentang bagaimana kerja di luar negeri.Â
Saya paham bahwa kerja di luar negeri tidak gampang, penuh liku-liku, tenaga, pikiran, waktu juga uang. Saya dapatkan cukup banyak wejangan dari beliau waktu itu. Sayangnya, saya gagal berangkat ke Timur Tengah karena satu dan lain hal.Â
Saya tidak salahkan siapa-siapa kecuali berprinsip bahwa mungkin belum rejeki saya. Prinsip ini saya anut agar tidak berubah jadi sakit hati yang tidak gampang cari obatnya.
Hal yang menjadi beban saya lainnya adalah, lulus kuliah lalu menikah, padahal belum kerja. Inilah yang membuat saya memutar otak bagaimana caranya menutupi kebutuhan hidup keluarga. Yang saya lakukan kemudian adalah kerja di Homecare di sekitaran Magelang.Â
Pindah dari satu pasien ke pasien lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya itu tidak gampang. Dari sana saya belajar banyak tetang hikmah kehidupan.
Di Malang kemarin, selama dua hari di kediaman Bapak Syaifoel Hardy seperti bernostalgia. Saya bersama seorang teman SMA yang beda jurusan, Wawan namanya, dia lulusan Teknik Informatika, tetapi kerjanya mengolah bisnis Cabe.Â
Ada banyak canda dan pembelajaran selama dua hari di Malang. Saya diajak main ke Lumajang, mengunjungi teman kuliah beliau, kemudian ke kota wisata Batu serta Ngantang. Cukup penat juga tetapi menyegarkan.
Kilas balik mengapa saya akhirnya berangkat ke Brunei adalah waktu saya mengikuti pelatihan kerja di hotel Magelang, untuk sebuah kapal pesiar.Â
Di sana saya ketemu seseorang yang entah tetiba menawarkan apakah saya minat jika kerja di Brunei sebagai caregiver. Tanpa babibu saya mengiyakan. Padahal duit juga tidak punya, entahlah bagaimana caranya orangtua saya mencarinya.
Jujur saja, semula saya ragu dan khawatir gagal lagi. Tetapi di sisi lain, tekad ini tetap menyala. Dengan keyakinan ini saya meneruskan niat untuk diproses permohonan saya.Â
Sudah dua tahun saya menunggu peluang seperti ini dan Alhamdulillah berhasil. Saya berangkat dengan rasa suka bercampur duka. Suka karena impian kerja di luar negeri terwujud, duka karena harus pisah dengan keluarga.
Tiba di Brunei, cukup kaget. Negara yang katanya kaya raya ini tidak seperti yang saya bayangkan. Kok sepi banget, masih mending Kota Malang.Â
Brunei tidak menjanjikan keramaian, tidak ada tempat wisata atau rekreasi seperti Batu, Gunung Bromo atau Semeru, apalagi Bali. Namun tujuan saya karena bekerja, jadi rencana untuk bisa main-main di rumahnya Sultan Bolkiah ini saya kesampingkan.
Selama dua bulan pertama di sana, saya masih belum dapat pasien. PT tempat kami bekerja baru berdiri, sementara saya diberi kesibukan kerja di kantor, nunggu ada order-an pasien.Â
Pada bulan ke tiga saya baru kerja, butuh waktu tiga bulan untuk menyesuaikan diri dengan negeri Brunei. Lingkungan kerja bukan hanya dengan orang Brunei, tetapi juga India dan Filipina serta tentu saja Indonesia.
Kerja sebagai caregiver sebetulnya cukup menyenangkan di Brunei. Watak dan karakter orang Brunei tidak beda dengan Indonesia. Kosa kata bahasa Melayu saja yang barangkali sedikit beda. Makanya kalau soal bahasa, tidak sulit untuk beradaptasi. Bahkan lebih enak daripada sebagian besar tempat kerja kita di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya.Â
Orang Brunei "lugu" kayak orang Jawa saja. Secara umum sebenarnya tidak beda dengan kita. Alhamdulillah saya dapat pasien yang baik-baik.Â
Pernah juga dapat pasien orang Australia, tapi repot. Lebih baik dapat orang lokal. Lagian bahasa Inggrisnya orang Ausie bagi saya waktu itu ribet, makanya saya minta pindah pasien.Â
Selain pasien, makanan, suasana, hawa kerja juga sangat oke bagi saya. Brunei tempat terbaik untuk menabung. lagian semua dicukupi di rumah pasien. Makanya berat badan saya cepat mekar hanya dalam beberapa bulan. Makan enak, kerja ringan dan gaji lumayan.
Intinya kerja di Brunei bisa bikin betah. Tantangannya adalah bagi yang suka keramaian, hiburan, dan wisata, Brunei bukanlah tempatnya. Karena orang Brunei sendiri juga suka melancong ke luar negeri. Dan kalau masalah keamanan, Brunei sangat amanlah.Â
Saya pernah melihat Sultan Bolkiah masuk masjid tanpa pengawal. Ini bukti bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sana. Orangnya memang banyak yang kaya, dan yang miskin minimal punya mobil 2 buah itu biasa.
Kalau ditanya apakah ada orang Brunei yang kayak orang kita yang misalnya sombong. Menurut saya sih ada, namanya orang kaya kalau sombong itu biasa. Makanya saat saya diminta balik ke Brunei oleh pasien oleh keluarga yang pernah saya asuh, saya sih oke-oke saja. Lagian di Indonesia meskipun tidak terlalu susah cari kerja sebagai perawat, apalagi saat Covid-19 ini, tetapi yang gajinya kayak Brunei itu tidaklah mudah.Â
Saya amat bersyukur bisa kerja dan dapat rejeki di Brunei. Berharap bisa tinggal beberapa tahun di sana, dan bisa neruskan kuliah lagi, beli rumah dan nabung untuk masa depan. Sesudah itu, pinginnya masih mau loncat ke negara lain. Mumpung masih diberi kesempatan umur dan kesehatan ini.
Saya tahu, tidak mudah di era seperti sekarang ini untuk bisa kerja di luar negeri. Makanya inilah yang namanya rezeki yang tidak pernah disangka.Â
Mr. Syaifoel bilang ke saya bahwa kerja di luar negeri itu tidak ada yang enak. Namun tidak ada barang mahal yang prosesnya mudah, cepat serta murah. Kalau mau jadi profesional yang dibayar mahal, harus berani menghadapi tiga hal, yaitu menghadapi kesulitan, bersedia bayar mahal serta mengikuti proses yang panjang.
Seperti yang dikisahkan oleh Ongky Satya.
13 March 2021
Ridha Afzal    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H