Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Utang Menjulang, Rakyat Ditimang dengan Tunjangan dan Bantuan

2 September 2020   20:23 Diperbarui: 2 September 2020   20:22 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya membaca berita tentang jumlah utang negeri ini yang terus menggunung. Diprediksi, tiap tahun Indonesia akan bayar tanggungan Rp 1000 Triliun. Demikian kata ekonom senior Institute for Development and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi online bertajuk "Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi" yang diselenggarakan INDEF hari ini (2/9/2020).

Utang kita semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2019, Pemerintah Jokowi utang sebesar Rp 921.5 triliun dengan membayar utang sebesar Rp 475.2 triliun. Sementara membayar bunganya saja sebesar Rp 275 triliun. "Jadi setiap tahun Pemerintahan Jokowi membayar utang Rp 750 triliun setiap tahun." Ujar Didik J. Rachbini (Repelita Online, 2/9/2020).  

Budayakan Utang

Hampir tiap hari saya menerima SMS di HP atau WA dari agen-agen Finance atau atas nama Koperasi, isinya nawari utang. Ada yang menyebut detail besaran pinjaman, tanpa angguna. Ada pula yang dengan iming-iming Bunga kecil hanya 2% setahun.

Di ruko sebelah rumah, ada dua Agen Distributor Motor terkenal. Saat saya tanya berapa persentase pelanggan yang hutang, dijawabnya 90% orang membeli dengan system kredit.

Belum lagi di kantor-kantor dan aneka jualan online yang menawarkan bayar dengan system nyicil. Semuanya menjanjikan 'kesejahteraan' di muka. Terlilit di belakang. Enak di depan, susah di belakang. Akibatnya, rakyat sudah terbiasa dengan system kapitalis ini.

Kita dibudayakan dengan propaganda kalau tidak utang, tidak akan maju. Kalau tidak utang, kita sulit hidup sejahtera. Padahal, semuanya fatamorgana. Tidak sedikit masyarakat yang hidupnya sengsara karena terbelit lehernya karena utang. Bahkan tidak jarang hingga akhir hayatnya.

Kamuflase

Beberapa kali kami kedatangan tamu dari mancanegara, asal India, Pakistan dan Filipina. Mereka begitu senang melihat Indonesia. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang dan Bali. Mereka takjud dengan sarana dan prasarana yang kita miliki. Saya tersenyum di muka, sedih di hati.

Jalan-jalan tol yang mulus, gedung pencakar langit, mall-mall yang menggoda, serta aneka tempat wisata yang menawan. Mereka tidak tahu bahwa itu semua dibangun dengan jalan hutang.

Kalau tidak hutang, mengapa mesti kita harus 'bayar' hanya karena lewat Toll? Di Timur Tengah, tamu kami asal Saudi, Kuwait, Qatar, heran karena kita harus bayar ketika lewat Toll. Mengapa lihat pantai harus bayar mahal? Di India, kata Mr. Chacko, teman kami, ke pantai gratis. Di kita minimal Rp 20.000. 

Untuk lihat Elephant Garden (Taman Gajah) di India tamu asing hanya bayar Rp 2 ribu perak. Di kita untuk masuk Jatim Park saja, harus merogoh kocek Rp 100 ribu. Kalau makmur dan tidak punya beban hutang, kita tidak mungkin bayar ke fasilitas milik rakyat.

Inilah keindahan dan kemewahan semu yang kita bangun. Semua kita bangun indah, tetapi lewat utang. Anda boleh punya argumentasi beda, terkait hutang untuk tujuan pembangunan ini. Tetapi jangan ditolah kenyataan, hanya karena atas nama pembangunan, ternyata kita sangat menderita.

Didikan Hidup Sederhana

Pak Mingan, seorang petani di Trenggalek Selatan. Saya pernah berkunjung ke rumahnya. Kalau duit katanya, dia tidak punya, tetapi kekurangan makan, tidak pernah. Itu jauh lebih baik dari pada hidup penuh fasilitas, rumah mewah, mobil, motor dan aneka sarana hidup lainnya, namun hutang tidak kunjung padam.

Dari sejak sekolah dasar, kita sudah diajari cara berinvestasi (Baca: Hutang). Utang secara besar-besaran diseminarkan. Bank-bank membuka jendelanya lebar-lebar, menyebarkan sales executive nya ke kantor-kantor dengan alasan memberikan pinjaman lunak.

Sesudah pinjaman diberikan, giliran pasukan dari bank ini bergerilya setiap bulan menagih. Kalau terlambat, jika perlu menggunakan Debt Collector yang bertato. Sehingga orang takut kalau tidak bayat utang tepat waktu.

Hutang, manis di depan, seram di belakang. Tapi yang seram-seram ini tidak diajarkan, tidak pernah ditunjukkan, saat sekolah dalam mata ajar ekonomi. Kecuali dalam mata ajar Agama yang tidak populer, karena kalah santer iklannya dengan iklan utang. Yang diceritakan yang enak-enak saja, bagaimana orang bisa sukses karena hutangnya.

Giliran Rakyat yang Sengsara

Kini giliran rakyat yang harus menanggung derita. Semua sumber daya alam dikeruk oleh investor asing, karena kita tidak punya SDM yang mampu mengelola. Kita juga tidak punya dana. Sementara perjanjian sudah dibuat. 

Orang asing masuk sesuai perjanjian untuk mengola sumber daya kita: emas, batubara, minyak, kayu, karet, kekayaan laut dan lain-lain, diambil, diolah, kemudian kita disuruh membelinya.

Rakyat tidak berdaya ketika pekerja asing masuk, karena sudah menjadi bagian dari perjanjian saat kita utang. Kejadian ini bukan impian.

Zimbabwe, negara Afrika yang terjerat utang ke China harus menelan pil pahit karena gagal membayar utang sebesar $ 40 juta, hingga izinkan mata uang mereka jadi Yen (Kompas, 22/3/2018).

Srilanka, hutang sebesar $ 8 miliar ke China dan tak sanggup membayarnya. Membuat Pemerintah Srilanka meyerahkan pelabuhan dan lahan seluas 60.7 juta meter persegi untuk dikelola China selama 99 tahun (Tempo, 13/5/2019).

Kapan Giliran Indonesia?

Kapan kita mampu membayar lunas, bagaimana cara bayar dan apa konsekuesninya jika kita tidak mampu membayarnya? Apakah rela ganti mata uang Rupiah seperti Zimbabwe ke negara pemberi hutang atau menyerahkan beberapa pulau ke tangan mereka?  

Saya bukan tipe orang pesimis. Tapi kalau disuruh milih, lebih baik nyata hidup melarat, tapi tidak punya hutang, dari pada kaya tapi penuh kepalsuan. Atau, lebih baik saya bisa kerja di luar negeri, membawa dana milik negara kaya, dari pada kerja di dalam negeri dapat tunjangan besar dan bantuan dari Pemerintah, namun hasil dari hutang.

Sampai kapan ya pembaca?

Malang, 2 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun