Inilah sejumlah faktor penyebab tidak menurunnya angka kasus. Justru malah makin luas dan meningkat.
Regulasi Pemerintah terhadap instansi tidak kalah berpengaruh. Misalnya, menutup lembaga untuk sementara dan tidak tahu kapan harus buka lagi. Dari kaca mata bisnis, ini sangat merugikan pengusaha juga pekerja serta produktivitasnya. Padahal, mereka sehat.
Demikian halnya aturan untuk memeriksa semua karyawan yang apabila didapatkan satu atau dua orang yang diduga terjagkit Covid-19, harus diperiksa seluruhnya. Kebijakan 'gebyah uyah' (menyamaratakan) ini dinilai sangat merugikan perusahaan dan pemborosan.Â
Bayangkan, berapa dana yang dikeluarkan oleh perusahaan hanya untuk Rapid Test yang tidak murah. Belum lagi jika tuntutannya Swab Test, akan jauh lebih mahal lagi.
Ke depan, produktivitas akan menurun, karyawan dan pengusaha tidak mendapatkan untung, dan negara secara nasional bisa bangkrut. Akibat terparah adalah negara mungkin akan cari jalan keluar, dengan cara Hutang yang berdampak ada Inflasi.
Menolak Terapi
Anda boleh tidak percaya. Teman saya, seorang perawat yang bekerja di Unit Covid-19, milik Pemerintah di sebuah lembaga BUMN kondang di Jakarta, didiagnosa Positif. Dia harus opname, MRS. Anehnya, dia menolak tegas. Dia tidak mau makan/minum obat yang diberikan pihak RS, selama dua minggu dirawat.
Selama itu pula dia hanya tidur atau istrahat, tanpa makan obat, kecuali Panadol jika dia merasa panas. Ajaibnya, ternyata dia sembuh. Saat di test sesudah dua pekan, hasilnya negative. Kemudian dia bekerja normal hingga saat ini.
Ini berarti, tidak semua kasus harus diperlakukan penanganan yang sama. Sayangnya, mayoritas penderita Covid-19 adalah orang awam yang tidak tahu seluk beluk Covid-19. Sedangkan rekan saya sangat beda.
Dia memiliki nilai tawar (bargaining power), sehingga tidak minum obat pun, tidak ada pihak yang 'memaksa'. Toh pada akhirnya dia sembuh. Otomatis pihak yang mengobati termasuk RS 'heran'.