Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Sistem, Moral, dan Hukuman pada Kasus Djoko Tjandra

31 Juli 2020   19:19 Diperbarui: 1 Agustus 2020   10:03 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Dictio Community 

Beberapa hari terakhir ini di Aceh ramai pembicaraan tentang rencana Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terkait pengadaan televisi ukuran besar di lima kabupaten provinsi Aceh. Masyarakat banyak yang menentang karena berpotensi korupsi. Pengadaan barang tersebut bernilai milyaran Rupiah, termasuk biaya pemeliharaan. 

Kemungkinan rencannya batal. Ini merupakan salah satu contoh bahwa masyarakat kita mulai kritis terhadap isu-isu korupsi.

Di lain pihak, kita masih memiliki banyak pintu-pintu peluang yang memungkinkan korupsi bebas bergerak. Yang saya tahu dari pengalaman kerja di lapangan, di bagian pembelian dan penerimaan barang sebagai misal, merupakan divisi yang rawan korupsi.

Betapapun kita sudah menggunakan sistem online dan menerapkan metode pembelian barang melalui panitia yang se-fair mungkin, tetap saja, akan ada peluang untu 'bermain' di pintu belakang. Karena tidak semuanya bisa dilakukan online. Jadi sistemnya kurang pas dan perlu direview.

Tapi penyebab terjadinya korupsi bukan hanya karena sistem. Bisa juga karena moral yang rendah, mental pencuri, atau ancaman hukuman terlalu ringan. Inilah barangkali analisa sederhana mengapa ada kasus Djoko Tjandra.

Tergoda Peluang

Saya punya kenalan yang bekerja di Bagian Gizi sebuah rumah sakit (RS). Mulanya hidupnya sangat sederhana. Sebagai pekerja biasa di RS, ijazah setingkat SMA, berapa sih penghasilannya? Paling banter segede UMR.

Semula saya tidak percaya omongan teman-teman. Pada akhirnya saya 'ngeh' juga ketika memahami apa yang terjadi. Bagian Gizi di RS, kelihatannya sepele. Katakan membeli sayur per kg seharga Rp 7.000 di pasaran. Membeli di supplier RS harga beda, bisa hanya Rp 6.000.

Bagi 'panitia' RS, bisa saja harga ini di-mark up, misalnya tidak usah banyak, katakan hanya Rp 6.900 per kg. RS butuh 50 kg sayur per hari. Keuntungan yang masuk kantong Rp 100 x 50 = Rp. 5000/ hari  atau sebulan bisa mencapai Rp 150.000. Itu masih sayur, belum bumbu-bumbu, beras, daging dan lain-lain.

Makanya, teman-teman yang lain pada berkicau, kalau orang Gizi (Baca: Dapur) itu hidupnya sangat makmur. Belum lagi hitungan per hari. Mereka biasanya ada saja makanan yang dibawa pulang. Entah bagaimana mekanismenya koq bisa seperti ini. Okelah kalau sekadar untuk dimakan saat kerja tidak masalah.

Zaman gini masih ada institusi yang masih longgar aturannya, sehingga karyawan bisa bawa pulang makanan. Di luar negeri, bagian gizi RS banyak yang diberikan pada kontraktor alias Catering. Orang dalam nyaris tidak ada peluang sama sekali untuk turut campur masalah keluar masuknya bahan makanan.

Masalahnya, orang baikpun bisa tergoda jika melihat ada peluang korupsi seperti kasus Dapur di atas. Meski pada mulanya kita jujur, lambat laun boleh jadi terpengaruh oleh rekan kerja. Sehingga larut ikut jadi koruptor kecil-kecilan yang lama-lama menggunung.

Djoko Tjandra memang tidak bawa makanan. Tetapi nggondol uang milyaran Rupiah dari bank. Sama kayak dapur. Dia punya peluang dan tergoda. Titik.

Sistem

Baik di negeri maupun swasta, bagian dapur, penerimaan Tidak seperti hotel yang sangat ketat. Misalnya, karyawan tidak diizinkan membawa tas kecuali diletakkan di almari terpisah di ruang ganti pakaian. Saat pulang pun, setiap tas diperiksa oleh petugas keamanan.Sistem seperti ini biasanya ada di perusahaan-perusahaan asing. 

Kita yang tidak terbiasa dengan sistem ini menganggap bahwa sistem ini aturannya sangat ketat. Sebenarnya bukan ketat atau tidaknya aturan. Sistem ya sistem yang harus dipatuhi oleh karyawan agar tidak terjadi kasus korupsi sebagaimana yang tidak kita kehendaki. Karyawan yang sudah terbiasa dengan sistem pengecekan seperti ini tidak merasakan ada hal yang aneh.

Di kantor-kantor/lembaga pemerintahan, model pengecekan seperti ini mungkin ada, tetapi bisa dihitung. Pembelian dan penerimaan barang menggunakan sistem online, pembayaran juga online, ini memang bisa mengurangi angka korupsi, tetapi tetap punya cela. 

Ini tidak lain karena the man behind the gun is more clever than the gun itself. Orang yang berada di belakang pistol, lebih pandai dari pada pistol itu sendiri.

Djoko Tjandra curi duit karena system bank di kita lemah. Atau ada aktor yang bisa diajak main?

Pendidikan Moral

Yang paling penting dari ini semua adalah pendidikan moral. Memberikan pendidikan rasa malu berkorupsi melalui pendidikan moral sangat penting. Pendidikan agama saja belum cukup. 

Di negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, USA, UK dan Australia, pendidikan terkait korupsi ini ditanamkan sejak dini. Jangankan korupsi besar, fotocopy buku saja mereka paham apakah boleh atau tidak jika ada copyright nya.

Saya punya teman orang Filipina yang menanyakan apakah boleh fotocopy buku. Saya jawab di Indonesia, apa yang tidak boleh? Dia tersenyum. Ini artinya, di negaranya, sudah menjadi budaya bahwa fotocopy buku itu illegal. Kecuali dengan izin pemilik/penulisnya.

Jadi, selain didukung oleh sistem, harus diperkuat dengan pendidikan moral sebagai fondasinya guna mencegah korupsi. Nah, di sinilah perannya. Meskipun Djoko Tjandra moralnya kuat, dia tidak tahan dengan godaan uang. Jadi gimana?

Hukuman

Djoko Tjandra hanya pelaku yang mungkin tidak paham bahwa mental korup itu tidak baik. Kita tidak bisa salahkan langsung karena sistem yang kita punya kurang solid, pendidikan moral tidak mendukung dan hukuman bagi koruptor terlalu ringan.

Lihatlah Saudi Arabia yang menerapan hukum pancung. Tiongkok mengeksekusi lebih dari 1 juta orang dalam tiga tahun hingga 2016. Korea Utara menghukum mati 50 pejabat pada tahun 2015. Jerman memberikan hukuman seumur hidup dan mengembalikan hartanya sejumlah yang dikorupsi (IDN Times, 30 April, 2020).

Kalau di kita, nenek melarat mencuri ayam dihukum dua tahun, tetapi koruptor dengan enaknya berlenggang-kangkung. Di penjara, bisa beli faslitas seperti hotel bintang lima. Makanya mereka tidak jera.

Source: IDN Times
Source: IDN Times

Djoko Tjandra

Sebetulnya mengurangi angka korupsi itu gampang. Mau di Aceh atau Papua, sama saja. Koruptor ada di mana-mana jika peluang mendukung, sistem lemah, meskipun moral kuat. Namun kalau diancam hukuman pancung, orang akan mikir 1000 kali.

Kasusnya Djoko Tjandra terjadi karena ketiga faktor tersebut di atas bertemu jadi satu. Yakni moral rendah, sistem tidak jalan dan hukuman pun ringan. Makanya orang semacam Tjandra tidak bakal kapok.

Sepanjang Pemerintah kita tidak tegas atas hukuman terhadap koruptor, kasus korupsi di negeri ini tidak bakalan punah. Yang paling penting lagi adalah orang-orang yang duduk di papan atas birokrat sendiri harus ngasih contoh. Kalau orang kalangan bawah mah, selamanya melarat. Kalau harus korupsi, paling banter korupsi waktu.

Malang, 31 July 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun