Saya punya teman orang Filipina yang menanyakan apakah boleh fotocopy buku. Saya jawab di Indonesia, apa yang tidak boleh? Dia tersenyum. Ini artinya, di negaranya, sudah menjadi budaya bahwa fotocopy buku itu illegal. Kecuali dengan izin pemilik/penulisnya.
Jadi, selain didukung oleh sistem, harus diperkuat dengan pendidikan moral sebagai fondasinya guna mencegah korupsi. Nah, di sinilah perannya. Meskipun Djoko Tjandra moralnya kuat, dia tidak tahan dengan godaan uang. Jadi gimana?
Djoko Tjandra hanya pelaku yang mungkin tidak paham bahwa mental korup itu tidak baik. Kita tidak bisa salahkan langsung karena sistem yang kita punya kurang solid, pendidikan moral tidak mendukung dan hukuman bagi koruptor terlalu ringan.
Lihatlah Saudi Arabia yang menerapan hukum pancung. Tiongkok mengeksekusi lebih dari 1 juta orang dalam tiga tahun hingga 2016. Korea Utara menghukum mati 50 pejabat pada tahun 2015. Jerman memberikan hukuman seumur hidup dan mengembalikan hartanya sejumlah yang dikorupsi (IDN Times, 30 April, 2020).
Kalau di kita, nenek melarat mencuri ayam dihukum dua tahun, tetapi koruptor dengan enaknya berlenggang-kangkung. Di penjara, bisa beli faslitas seperti hotel bintang lima. Makanya mereka tidak jera.
Djoko Tjandra
Sebetulnya mengurangi angka korupsi itu gampang. Mau di Aceh atau Papua, sama saja. Koruptor ada di mana-mana jika peluang mendukung, sistem lemah, meskipun moral kuat. Namun kalau diancam hukuman pancung, orang akan mikir 1000 kali.
Kasusnya Djoko Tjandra terjadi karena ketiga faktor tersebut di atas bertemu jadi satu. Yakni moral rendah, sistem tidak jalan dan hukuman pun ringan. Makanya orang semacam Tjandra tidak bakal kapok.
Sepanjang Pemerintah kita tidak tegas atas hukuman terhadap koruptor, kasus korupsi di negeri ini tidak bakalan punah. Yang paling penting lagi adalah orang-orang yang duduk di papan atas birokrat sendiri harus ngasih contoh. Kalau orang kalangan bawah mah, selamanya melarat. Kalau harus korupsi, paling banter korupsi waktu.